Cheng
berjalan tertatih ingin mendekati rak kayu yang sudah dimakan waktu. Mata yang
tak lagi awas hanya bisa dibantu oleh gapaian asal. Sebentar mencari, jemari
telah menyentuh tabung kaca yang membawa kilau karena sesuatu di dalamnya.
Sulit menerka-nerka bagaimana benda itu ada di sana dengan ukuran yang lebih
besar dibandingkan luang mulut tabungnya. Hanya senyum yang menari-nari ingin
membebaskan ingatan yang beberapa puluh tahun dibelenggu uban. Dibawanya tabung
menuju sofa merah marun hadiah sang putra yang saat ini berlenggang kesuksesan.
“Kau merindukannya?” tegur wanita
dari belakang. Ia menyusul duduk di samping.
“Ah, ya. Tapi aku lebih
merindukanmu.”
“Ya ampun, sudah setua ini kau masih
saja mengumbar rayuan.”
“Dan kau selalu menyukainya.”
Wanita itu mendengus namun menahan
tawa. “Kenapa, Cheng? Kau tidak berniat memecahnya, kan?” tanyanya melihat pria
tua yang menghabiskan separuh waktu bersamanya.
“Bagaimana aku melakukannya,
sementara ini adalah cara aku mendapatkanmu hingga sampai saat ini hanya kau
satu-satunya wanitaku.”
Sungging senyum dihadiahkan. Benda
berkilau masih menyandang predikat sebagai giok ajaib mereka. Terlindung di
dalam tabung kaca seperti kesetiaan keduanya.
Flash Fiction ini ditulis untuk
mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com di
Facebook dan Twitter @nulisbuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar