Senin, 14 April 2014

Surat Rahasia Russell

Cerpen ini dibuat berdasarkan tantangan menulis dalam #karakterjahat dari @KampusFiksi



              Sepatu saling berderap menyisakan jejak-jejak bercampur tanah basah mendekati sosok bersimpuh dalam ikatan. Guyuran hujan sejak semalam tidak menepis rasa dingin menyerang raganya yang mulai tampak membengkak. Wajah itu hampir tak bisa kukenali karena luka memar pada area pelipis dan sobekan di sudut bibir. Meski bekas cairan pekat agak kehitaman menutupi sebagian mata, tapi aku bisa melihat ia memicing ke arahku. Desis mulut mengobarkan amukan terpendam membuatku paham ada keinginan melontarkan umpatan. Aku menggeram kesal, tubuh tuanya tetap berkalang besi meskipun siksaan para bawahanku menggerogotinya semalam suntuk. Sialan! Tanganku mengepal bersembunyi di balik saku. Tak ingin anak buah melihat kegagalan rencanaku maka kupasang wajah sedatar mungkin seolah tak terjadi apapun. Sayangnya, pria tua ini menyadari hingga berlanjut pada tarikan di kedua sudut bibir yang melebar.
                   “Hahahaha...!” Ia menertawakanku dengan suara parau.
                Kaki kutekuk berjongkok di depannya. Bukan seorang Russell jika tak bisa membekap diam dengan manuver rencana lain. Sementara menunggu ia berhenti tertawa, otakku berkelebat cepat. “Sudah puas, Pak Tua? Hebat sekali kau bisa menahan siksaan. Seharusnya kau tak perlu mengorbankan diri hanya untuk melindungi sesuatu yang bukan milikmu. Cukuplah menjawab apa yang ingin kuketahui dan kau terbebas dari tempat mengerikan ini.”
                Tuan Hansen yang kupanggil pak tua hanya terdiam. Nafasnya sedikit terengah-engah akibat perih luka atau tawa keras yang dikeluarkan barusan. “Cih!” Jawaban semburan ludah memaksaku bangkit.
             “Baiklah, sepertinya kau tidak bisa diajak kerjasama. Sebenarnya ada satu cara agar kau buka mulut dan aku yakin kau tidak bisa mengelaknya.” Kusunggingkan senyum padanya. Tuan Hansen menatap lekat-lekat tanpa ekspresi.
             “Kau sudah tahu brankas penyimpananku. Aku tak peduli kau mengambil semuanya!” Perkataannya serta-merta membuatku melepas tawa.
          “Tidak, tidak! Aku tidak butuh uangmu! Kau sudah memberi lebih dari cukup sejak aku bekerja padamu. Surat itu lebih berharga dari apapun bahkan nyawaku sendiri. Kau sangat mengenalku, Pak Tua, jadi kau tahu langkah terburuk apa yang akan kuambil.”
            “Pengkhianat picik sepertimu sudah pasti akan terus menyiksaku sampai mati.”
            Aku menggeleng membuktikan perkataannya salah. Dengan santai, aku mengeluarkan kalung warna hijau yang kudapatkan ketika Tuan Hansen dibawa paksa.
            “Kau—“
            “Ini benda berharga sama seperti pemilik yang kau sayangi. Bukan begitu, Pak Tua?”potongku.
            “Kau... Kau tidak akan bisa melakukannya, Russell! Kau pun menyayanginya! Ia tunanganmu!“
            Aku berdecih, sebagian membenarkan ingatan bahwa Alea tunanganku dan Tuan Hansen calon mertuaku. Mereka orang-orang yang kukelabui semata-mata demi tujuan rahasia. Sebenarnya aku jijik membiarkan cincin pertunangan masih melekat sempurna di jari. Benda ini mati-matian kudapatkan hanya untuk mengambil hati dan kepercayaan mereka.
            “Jadi... bagaimana? Nyawa putrimu ada di tanganmu.”
            “Awas kau! Seujung kuku kau sentuh putriku, aku akan—“
            “Akan apa? Kau tidak bisa berbuat apapun bahkan untuk dirimu sendiri! Katakan saja apa yang kau ketahui, Tuan Hansen!” Kali ini kutegaskan panggilan yang dulu kuucapkan setiap menyapa sopan padanya. Kuamati matanya terpejam seolah berpikir keputusan terberat yang akan diambil selama hidupnya. Puas, aku berhasil mengacak-acak kehidupannya seperti peliharaan yang patuh  pada sang majikan.
            Jeda beberapa menit, suara terucap dari bibir keringnya. “Di balik patung liberty meja kantor ada tombol merah yang menghubungkan dengan ruang rahasia. Apa yang kau inginkan ada di sana.”
            “Kau menyimpan surat itu di kantor?” tanyaku tak percaya. Tuan Hansen hanya diam tanpa niat menjawab pertanyaan. Kutatap salah satu anak buahku dan memberikan isyarat. Ia segera menelepon menyuruh anggota lain memeriksa kantor Tuan Hansen. Terasa lama sekali aku menunggu kabar. Dengan tidak sabar aku memainkan cincin yang sedari awal ingin kusingkirkan setelah semua beres. Hingga akhirnya suara telepon mengalihkan tatapanku yang menerima anggukan dari anak buah.
            “Bagus sekali! Terimakasih, Pak Tua, berkatmu aku bisa mendapatkan surat itu. Ah, tidak! Sepertinya aku pun akan berterimakasih pada Alea! Kalian sepasang ayah dan anak yang kompak.”
            Tuan Hansen yang menangkap gelagatku langsung berteriak, “Kau sudah berjanji, Russell! Apa yang kau lakukan, hah?!”
            “Tenanglah, aku tidak akan membunuhnya. Tapi sebagai tunangan, tak ada salahnya sedikit bersenang-senang dengan putri cantikmu itu. Sampai jumpa, Tuan Hansen. Sampai ketemu di akhirat nanti, hahaha!” Aku berbalik tanpa peduli dengan teriakan pria tua sepertinya. Kuserahkan semuanya pada anak buah yang haus permainan gratis dariku.
_o0o_
            Pintu berbahan kayu dengan polesan cat warna merah bata kini terbuka menampakkan seorang gadis cantik berparas sendu. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Berhari-hari tidak menjumpai keberadaan sang ayah membuatnya pilu hingga pucat menutupi rona pipi. Tapi melihat kedatanganku, raut itu berubah sedikit ceria. Alea langsung berhambur ke dadaku seraya memeluk erat. Reaksi yang selalu diperlihatkan tiap kali kami bertemu.
            “Russell, aku merindukanmu.”
            Aku pura-pura bersikap hangat, kuelus punggung ringkihnya sambil menghibur, “Kupikir kau akan terus larut dalam duniamu sendiri tanpa mempedulikanku.”
            Alea mendongak. Kami bertemu mata. “Maafkan aku, Russell. Aku terlalu sedih memikirkan ayah. Aku tidak bermaksud mengacuhkanmu selama ini.”
            Tubuh Alea mundur pelan karena aku melepas pelukannya, “Mungkin karena kau tidak mencintaiku.”
            “Kenapa tiba-tiba bicara begitu? Aku sangat mencintaimu.”
            Aku menatap sepasang mata hijau yang kupastikan beberapa saat lalu menghabiskan waktu dengan menangis. Sepertinya sebentar lagi aku akan membuat kristal bening itu terjatuh kembali, “Aku membantu mencari ayahmu dan itu menyita banyak waktu kebersamaan kita. Mungkin kau tidak menyadarinya, Alea, tapi aku makin tersisih karena saat bertemu, kau hanya membicarakan ayahmu tanpa sedikitpun perhatian padaku.”
            “Maaf, maafkan aku, Russell. Kau dan ayah adalah orang yang sangat kusayangi. Aku tidak pernah berpisah selama ini dengan ayahku apalagi tanpa tahu keberadaannya.”
            Kuusap sudut bibirnya membuat Alea memejamkan mata, “Apa kau juga akan mengalami hal yang sama jika aku pergi?” Kusodorkan pertanyaan padanya.
            “Russell?” Alea membuka mata terkejut.
            “Sudahlah, aku hanya ingin mengetahui keadaanmu. Selamat—“ Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, pelukan Alea menghalangiku pergi. Ada hawa dingin di kemeja akibat tangis Alea. Aku terdiam namun menyimpan kemenangan.
            “Jangan pergi. Tetaplah di sini.” Tarikan tangan Alea menutup pintu. Saling memandang hingga pelan-pelan wajah kami mulai menghilangkan jarak. Inilah gadis polosku yang sangat mencintaiku. Gadis bodoh yang sangat percaya bahwa aku mencintainya dengan tulus.
            Samar, terdengar kicau burung mengusik istirahat. Mata kupaksa terbuka dan terus mengamati keadaan luar yang hanya bisa dilihat sebagian. Nafas halus mengalihkan tatapanku pada punggung milik seseorang yang tidur di sebelah. Sesekali namaku disebut dalam tidur nyenyaknya. Dengan hati-hati aku bangkit dari ranjang lalu mengenakan pakaian. Sebelum meninggalkan kamar, aku sejenak menatap wajah Alea yang tidak kusangkal sangat cantik tanpa riasan. Rambutnya tergerai acak menimbulkan sensasi tersendiri akibat kilatan peluh pada beberapa helai. Inilah saatnya aku terbebas dari belenggu meski ada bagian menyenangkan yang ia berikan padaku. Kenang-kenangan darinya begitu manis. Berlawanan dengan apa yang kuberikan setelah terbangun tanpa diriku untuk selamanya. Selamat tinggal, Alea, wanitaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar