Sepatu saling berderap menyisakan
jejak-jejak bercampur tanah basah mendekati sosok bersimpuh dalam ikatan.
Guyuran hujan sejak semalam tidak menepis rasa dingin menyerang raganya yang
mulai tampak membengkak. Wajah itu hampir tak bisa kukenali karena luka memar
pada area pelipis dan sobekan di sudut bibir. Meski bekas cairan pekat agak
kehitaman menutupi sebagian mata, tapi aku bisa melihat ia memicing ke arahku.
Desis mulut mengobarkan amukan terpendam membuatku paham ada keinginan
melontarkan umpatan. Aku menggeram kesal, tubuh tuanya tetap berkalang besi
meskipun siksaan para bawahanku menggerogotinya semalam suntuk. Sialan!
Tanganku mengepal bersembunyi di balik saku. Tak ingin anak buah melihat
kegagalan rencanaku maka kupasang wajah sedatar mungkin seolah tak terjadi
apapun. Sayangnya, pria tua ini menyadari hingga berlanjut pada tarikan di
kedua sudut bibir yang melebar.
“Hahahaha...!”
Ia menertawakanku dengan suara parau.
Kaki
kutekuk berjongkok di depannya. Bukan seorang Russell jika tak bisa membekap
diam dengan manuver rencana lain. Sementara menunggu ia berhenti tertawa,
otakku berkelebat cepat. “Sudah puas, Pak Tua? Hebat sekali kau bisa menahan
siksaan. Seharusnya kau tak perlu mengorbankan diri hanya untuk melindungi sesuatu
yang bukan milikmu. Cukuplah menjawab apa yang ingin kuketahui dan kau terbebas
dari tempat mengerikan ini.”
Tuan
Hansen yang kupanggil pak tua hanya terdiam. Nafasnya sedikit terengah-engah akibat
perih luka atau tawa keras yang dikeluarkan barusan. “Cih!” Jawaban semburan
ludah memaksaku bangkit.
“Baiklah,
sepertinya kau tidak bisa diajak kerjasama. Sebenarnya ada satu cara agar kau
buka mulut dan aku yakin kau tidak bisa mengelaknya.” Kusunggingkan senyum
padanya. Tuan Hansen menatap lekat-lekat tanpa ekspresi.
“Kau
sudah tahu brankas penyimpananku. Aku tak peduli kau mengambil semuanya!”
Perkataannya serta-merta membuatku melepas tawa.
“Tidak,
tidak! Aku tidak butuh uangmu! Kau sudah memberi lebih dari cukup sejak aku
bekerja padamu. Surat itu lebih berharga dari apapun bahkan nyawaku sendiri.
Kau sangat mengenalku, Pak Tua, jadi kau tahu langkah terburuk apa yang akan
kuambil.”
“Pengkhianat
picik sepertimu sudah pasti akan terus menyiksaku sampai mati.”
Aku
menggeleng membuktikan perkataannya salah. Dengan santai, aku mengeluarkan
kalung warna hijau yang kudapatkan ketika Tuan Hansen dibawa paksa.
“Kau—“
“Ini
benda berharga sama seperti pemilik yang kau sayangi. Bukan begitu, Pak Tua?”potongku.
“Kau...
Kau tidak akan bisa melakukannya, Russell! Kau pun menyayanginya! Ia
tunanganmu!“
Aku
berdecih, sebagian membenarkan ingatan bahwa Alea tunanganku dan Tuan Hansen
calon mertuaku. Mereka orang-orang yang kukelabui semata-mata demi tujuan
rahasia. Sebenarnya aku jijik membiarkan cincin pertunangan masih melekat
sempurna di jari. Benda ini mati-matian kudapatkan hanya untuk mengambil hati dan
kepercayaan mereka.
“Jadi...
bagaimana? Nyawa putrimu ada di tanganmu.”
“Awas
kau! Seujung kuku kau sentuh putriku, aku akan—“
“Akan
apa? Kau tidak bisa berbuat apapun bahkan untuk dirimu sendiri! Katakan saja
apa yang kau ketahui, Tuan Hansen!” Kali ini kutegaskan panggilan yang dulu kuucapkan
setiap menyapa sopan padanya. Kuamati matanya terpejam seolah berpikir keputusan
terberat yang akan diambil selama hidupnya. Puas, aku berhasil mengacak-acak
kehidupannya seperti peliharaan yang patuh pada sang majikan.
Jeda
beberapa menit, suara terucap dari bibir keringnya. “Di balik patung liberty
meja kantor ada tombol merah yang menghubungkan dengan ruang rahasia. Apa yang
kau inginkan ada di sana.”
“Kau
menyimpan surat itu di kantor?” tanyaku tak percaya. Tuan Hansen hanya diam
tanpa niat menjawab pertanyaan. Kutatap salah satu anak buahku dan memberikan
isyarat. Ia segera menelepon menyuruh anggota lain memeriksa kantor Tuan
Hansen. Terasa lama sekali aku menunggu kabar. Dengan tidak sabar aku memainkan
cincin yang sedari awal ingin kusingkirkan setelah semua beres. Hingga akhirnya
suara telepon mengalihkan tatapanku yang menerima anggukan dari anak buah.
“Bagus
sekali! Terimakasih, Pak Tua, berkatmu aku bisa mendapatkan surat itu. Ah,
tidak! Sepertinya aku pun akan berterimakasih pada Alea! Kalian sepasang ayah
dan anak yang kompak.”
Tuan
Hansen yang menangkap gelagatku langsung berteriak, “Kau sudah berjanji, Russell!
Apa yang kau lakukan, hah?!”
“Tenanglah,
aku tidak akan membunuhnya. Tapi sebagai tunangan, tak ada salahnya sedikit
bersenang-senang dengan putri cantikmu itu. Sampai jumpa, Tuan Hansen. Sampai
ketemu di akhirat nanti, hahaha!” Aku berbalik tanpa peduli dengan teriakan
pria tua sepertinya. Kuserahkan semuanya pada anak buah yang haus permainan
gratis dariku.
_o0o_
Pintu
berbahan kayu dengan polesan cat warna merah bata kini terbuka menampakkan seorang
gadis cantik berparas sendu. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Berhari-hari
tidak menjumpai keberadaan sang ayah membuatnya pilu hingga pucat menutupi rona
pipi. Tapi melihat kedatanganku, raut itu berubah sedikit ceria. Alea langsung
berhambur ke dadaku seraya memeluk erat. Reaksi yang selalu diperlihatkan tiap
kali kami bertemu.
“Russell,
aku merindukanmu.”
Aku
pura-pura bersikap hangat, kuelus punggung ringkihnya sambil menghibur, “Kupikir
kau akan terus larut dalam duniamu sendiri tanpa mempedulikanku.”
Alea
mendongak. Kami bertemu mata. “Maafkan aku, Russell. Aku terlalu sedih
memikirkan ayah. Aku tidak bermaksud mengacuhkanmu selama ini.”
Tubuh
Alea mundur pelan karena aku melepas pelukannya, “Mungkin karena kau tidak
mencintaiku.”
“Kenapa
tiba-tiba bicara begitu? Aku sangat mencintaimu.”
Aku
menatap sepasang mata hijau yang kupastikan beberapa saat lalu
menghabiskan waktu dengan menangis. Sepertinya sebentar lagi aku akan membuat
kristal bening itu terjatuh kembali, “Aku membantu mencari ayahmu dan itu
menyita banyak waktu kebersamaan kita. Mungkin kau tidak menyadarinya, Alea, tapi
aku makin tersisih karena saat bertemu, kau hanya membicarakan ayahmu tanpa
sedikitpun perhatian padaku.”
“Maaf,
maafkan aku, Russell. Kau dan ayah adalah orang yang sangat kusayangi. Aku
tidak pernah berpisah selama ini dengan ayahku apalagi tanpa tahu
keberadaannya.”
Kuusap
sudut bibirnya membuat Alea memejamkan mata, “Apa kau juga akan mengalami hal
yang sama jika aku pergi?” Kusodorkan pertanyaan padanya.
“Russell?”
Alea membuka mata terkejut.
“Sudahlah,
aku hanya ingin mengetahui keadaanmu. Selamat—“ Belum sempat aku menyelesaikan
kalimat, pelukan Alea menghalangiku pergi. Ada hawa dingin di kemeja akibat
tangis Alea. Aku terdiam namun menyimpan kemenangan.
“Jangan
pergi. Tetaplah di sini.” Tarikan tangan Alea menutup pintu. Saling memandang
hingga pelan-pelan wajah kami mulai menghilangkan jarak. Inilah gadis polosku
yang sangat mencintaiku. Gadis bodoh yang sangat percaya bahwa aku mencintainya
dengan tulus.
Samar,
terdengar kicau burung mengusik istirahat. Mata kupaksa terbuka dan terus
mengamati keadaan luar yang hanya bisa dilihat sebagian. Nafas halus
mengalihkan tatapanku pada punggung milik seseorang yang tidur di sebelah.
Sesekali namaku disebut dalam tidur nyenyaknya. Dengan hati-hati aku bangkit dari
ranjang lalu mengenakan pakaian. Sebelum meninggalkan kamar, aku sejenak
menatap wajah Alea yang tidak kusangkal sangat cantik tanpa riasan. Rambutnya tergerai
acak menimbulkan sensasi tersendiri akibat kilatan peluh pada beberapa helai. Inilah
saatnya aku terbebas dari belenggu meski ada bagian menyenangkan yang ia
berikan padaku. Kenang-kenangan darinya begitu manis. Berlawanan dengan apa
yang kuberikan setelah terbangun tanpa diriku untuk selamanya. Selamat tinggal,
Alea, wanitaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar