POV Tokoh Pertama
Leganya, aku bisa mendudukkan pantat ke bangku berwarna biru
setelah setengah jam mencari tempat tujuanku. Halte ini mungkin buruk bagi
sebagian orang. Meski atap sedikit berlubang, setidaknya melindungi dari
sengatan sang surya yang membuat badanku mulai berkeringat. Kulihat banyak
coretan di sana-sini dengan umpatan tak layak baca. Bukan hanya kreasi
semprotan kimia tercetak jelas di dinding namun bekas goresan dari benda tajam
ikut meramaikan pesta bermain kata. Permukaan cat pun ada yang hilang menampakkan
kulit asli penuh karat. Uh, kenapa fasilitas umum seperti ini tidak segera
direnovasi? Pelajar sepertiku mungkin awam tentang anggaran pemerintah tapi
setahuku masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang baik. Mereka membayar
pajak, kan? Apa selama ini pejabat pemerintah hanya duduk-duduk di belakang
meja dengan selembar koran dan hisapan puntung rokok?
Aku
menarik nafas pendek mencoba mengendalikan diri agar tak ambil pusing. Sesekali
tatapanku mengarah pada kendaraan yang berlalu lalang tanpa ada satupun bis
jurusanku. Di mana mereka? Jangan-jangan jalanan ini sudah tidak berlaku
sebagai jalur transportasi umum. Aku baru pertama kali naik bis setelah tiga hari
lalu berganti status menjadi warga Wonosari. Ah, kegusaranku bertambah akibat
jarum jam telah menunjuk angka satu. Semakin diperparah pula dengan lengkingan
isi perut bersiap marah. Ini benar-benar siksaan! Dug! Suara mengagetkanku. Dari
kejauhan kudapati seorang ibu muda berjongkok memunguti barang-barangnya. Sebelum
kakiku beranjak, ia lebih dulu selesai merapikan dan mulai berjalan lunglai ke
arahku. Penglihatanku ingin memastikan keadaannya, tapi karena silau cahaya
maka kuurungkan niat untuk melototi. Biarlah aku tunggu dan akan kutanyakan
sesuatu padanya nanti.
POV Tokoh Kedua
Ya
Tuhan, semoga oleh-oleh untuk anak-anak tidak retak karena kecerobohanku
menjatuhkannya di trotoar. Bungkusan kardus tebalnya kuharap bisa melindungi tanpa
cela dari keretakan. Sebulan ini aku menyisakan uang ingin membelikan celengan
impian mereka dan baru hari ini bisa meredam rengekan itu. Kakiku sudah terasa
kebas jika harus kembali menukar ke toko dengan perut sebesar ini. Hingga kuputuskan
menuju halte yang berjarak beberapa meter di depan untuk duduk.
Rupanya
ada seorang pelajar di sini. Wajahnya bersih belum kena polusi kosmetik. Rambut
tergerai bebas seleher menambah kepolosannya. Yang kusuka adalah binar matanya
tampak malu-malu meski ada rasa ingin tahu untuk diungkapkan. Baru sadar, ia
sejak tadi memandangi bahkan sampai aku duduk. Terlihat mulutnya terbuka.
Kupikir akan mengucapkan sesuatu namun bibirnya mengatup kembali. Aku pun
mencari kesibukan sendiri.
Panas,
atap halte tidak cukup melindungi kami. Beberapa bagian atasnya hilang hampir
beratapkan langit. Halte rusak ini sudah lama tidak dipakai semenjak bis umum
pindah jalur melewati jalan kota. Memangnya siapa yang betah duduk di sini
kecuali sekadar istirahat sejenak? Tak ada indah-indahnya pemandangan yang bisa
kuambil. Tulisan-tulisan mengerikan lebih menyerupai cat pengganti. Bagi
seorang ibu sepertiku, sangat takut jika anak-anak membaca dan merekam kuat di
memori otak mereka. Tak pantas anak-anak mengenal istilah dewasa disertai
gambar di pojokan atas itu. Benar-benar keterlaluan! Terselip gelap di sana
menyuguhkan coretan berbau mesum. Semoga gelagatku tidak menyentuh rasa
penasaran pelajar di dekatku. Cukuplah ia duduk tenang sambil menikmati deru
mesin kendaraan pribadi.
POV Tokoh Ketiga
Punggung
rasanya seperti dihantam batu, kaku dan nyeri susah digerakkan. Aku baru
mendapat uang sepuluh ribu dan badan sudah minta jatah istirahat. Sekarang
malah ban becak bocor dan terpaksa kutuntun agar menepi dekat trotoar. Kupandangi
sejenak becak tuaku hasil menjual pohon jati sembilan sebelas tahun lalu. Sebelum
menjauh pergi untuk berteduh, kuganjal ban dengan batu bata yang kupungut dari
selokan.
Kemunculanku sepertinya mengagetkan kedua
orang di halte karena tiba-tiba menoleh. Penampilanku tidak serapi mereka. Kaos
kumal dan celana pendek hanyalah lungsuran tetangga. Aku tidak peduli jika
benak mereka menganggapku seperti pemulung atau pengemis. Nyatanya tak sejalan
dengan pikiran, karena pelajar ini mengangguk pelan ke arahku. Anak yang sopan,
pikirku. Melihat seragam sekolahnya mengingatkan sosok anakku sendiri. Ia pasti
sedang sibuk membungkusi pepes jamur yang sore nanti dijual ke pasar. Ah,
maafkan bapakmu ini yang tidak bisa membiayaimu melanjutkan sekolah. Bapak juga
minta maaf karena hari ini belum bisa menyanggupi membelikan jilbab seperti
yang kau inginkan.
Kembali
aku mengalihkan tatapan ke arah bangku kosong. Satu-satunya dalam kondisi baik
hanya bangku di antara mereka, maka segera saja aku memilihnya. Seorang ibu
muda tampak sibuk melihat-lihat isi dompet. Sebenarnya, perbuatan itu dapat
memancing orang berniat jahat. Tapi keinginanku mengingatkan terhalang oleh wajah
pucatnya seperti menahan sesuatu. Mungkin ada uangnya yang hilang. Di mana
suaminya? Ibu hamil dengan perut besar sekitar enam bulan, membuatku miris. Apalagi
membawa barang-barang keperluan rumah tangga yang cukup berat. Sampai setua
ini, bahkan aku tak pernah membebani istriku sedemikian.
Ia
mengambil selembar uang ratusan ribu ditambah lima ribuan yang tak lebih dari
empat lembar. Mungkin dugaanku benar, wanita itu menunduk makin rendah dengan tarikan
nafas berat. Ia menyebut nama Tuhan dan terdiam.
“Ada
apa, Bu?” tanyaku.
Wanita
itu menoleh dan menatapku ragu. Pandangan terhadap orang asing bisa kutangkap
darinya. “Oh, tidak apa-apa, Pak.” Tangannya memasukkan dompet merahnya ke
dalam tas.
Aku
menghentikan rasa penasaran lalu mencoba menyandarkan punggung dan membayangkan
uang yang kudapat tadi. Sekilas aku mengawang-awang ke atas, lubang atapnya langsung
menghubungkanku dengan langit. Dari sini benakku berputar cepat teringat dengan
genting dapur yang bocor. Istriku sudah mewanti-wanti
agar segera memperbaikinya. Ia beberapa kali memindah tungku dan perabotan
sederhana agar terhindar dari tetesan hujan yang kerapkali datang di malam
hari. Mataku terpejam, dalam hati aku berdoa bisa mengumpulkan uang lebih banyak
hari ini. Namun sebelum menambalkan ban, sejenak saja biarkan aku dihibur
dengan bayangan senyum istri dan anak-anakku.
______
Tidak ada komentar:
Posting Komentar