Sabtu, 05 April 2014

Ujung Harapan

Cerita ini sebagai bentuk keikusertaan Tantangan Menulis dari @KampusFiksi dalam #DeskripsiSetting






POV Tokoh Pertama
                Leganya, aku bisa mendudukkan pantat ke bangku berwarna biru setelah setengah jam mencari tempat tujuanku. Halte ini mungkin buruk bagi sebagian orang. Meski atap sedikit berlubang, setidaknya melindungi dari sengatan sang surya yang membuat badanku mulai berkeringat. Kulihat banyak coretan di sana-sini dengan umpatan tak layak baca. Bukan hanya kreasi semprotan kimia tercetak jelas di dinding namun bekas goresan dari benda tajam ikut meramaikan pesta bermain kata. Permukaan cat pun ada yang hilang menampakkan kulit asli penuh karat. Uh, kenapa fasilitas umum seperti ini tidak segera direnovasi? Pelajar sepertiku mungkin awam tentang anggaran pemerintah tapi setahuku masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang baik. Mereka membayar pajak, kan? Apa selama ini pejabat pemerintah hanya duduk-duduk di belakang meja dengan selembar koran dan hisapan puntung rokok?
            Aku menarik nafas pendek mencoba mengendalikan diri agar tak ambil pusing. Sesekali tatapanku mengarah pada kendaraan yang berlalu lalang tanpa ada satupun bis jurusanku. Di mana mereka? Jangan-jangan jalanan ini sudah tidak berlaku sebagai jalur transportasi umum. Aku baru pertama kali naik bis setelah tiga hari lalu berganti status menjadi warga Wonosari. Ah, kegusaranku bertambah akibat jarum jam telah menunjuk angka satu. Semakin diperparah pula dengan lengkingan isi perut bersiap marah. Ini benar-benar siksaan! Dug! Suara mengagetkanku. Dari kejauhan kudapati seorang ibu muda berjongkok memunguti barang-barangnya. Sebelum kakiku beranjak, ia lebih dulu selesai merapikan dan mulai berjalan lunglai ke arahku. Penglihatanku ingin memastikan keadaannya, tapi karena silau cahaya maka kuurungkan niat untuk melototi. Biarlah aku tunggu dan akan kutanyakan sesuatu padanya nanti.

            POV Tokoh Kedua
            Ya Tuhan, semoga oleh-oleh untuk anak-anak tidak retak karena kecerobohanku menjatuhkannya di trotoar. Bungkusan kardus tebalnya kuharap bisa melindungi tanpa cela dari keretakan. Sebulan ini aku menyisakan uang ingin membelikan celengan impian mereka dan baru hari ini bisa meredam rengekan itu. Kakiku sudah terasa kebas jika harus kembali menukar ke toko dengan perut sebesar ini. Hingga kuputuskan menuju halte yang berjarak beberapa meter di depan untuk duduk.
            Rupanya ada seorang pelajar di sini. Wajahnya bersih belum kena polusi kosmetik. Rambut tergerai bebas seleher menambah kepolosannya. Yang kusuka adalah binar matanya tampak malu-malu meski ada rasa ingin tahu untuk diungkapkan. Baru sadar, ia sejak tadi memandangi bahkan sampai aku duduk. Terlihat mulutnya terbuka. Kupikir akan mengucapkan sesuatu namun bibirnya mengatup kembali. Aku pun mencari kesibukan sendiri.
            Panas, atap halte tidak cukup melindungi kami. Beberapa bagian atasnya hilang hampir beratapkan langit. Halte rusak ini sudah lama tidak dipakai semenjak bis umum pindah jalur melewati jalan kota. Memangnya siapa yang betah duduk di sini kecuali sekadar istirahat sejenak? Tak ada indah-indahnya pemandangan yang bisa kuambil. Tulisan-tulisan mengerikan lebih menyerupai cat pengganti. Bagi seorang ibu sepertiku, sangat takut jika anak-anak membaca dan merekam kuat di memori otak mereka. Tak pantas anak-anak mengenal istilah dewasa disertai gambar di pojokan atas itu. Benar-benar keterlaluan! Terselip gelap di sana menyuguhkan coretan berbau mesum. Semoga gelagatku tidak menyentuh rasa penasaran pelajar di dekatku. Cukuplah ia duduk tenang sambil menikmati deru mesin kendaraan pribadi. 

            POV Tokoh Ketiga
            Punggung rasanya seperti dihantam batu, kaku dan nyeri susah digerakkan. Aku baru mendapat uang sepuluh ribu dan badan sudah minta jatah istirahat. Sekarang malah ban becak bocor dan terpaksa kutuntun agar menepi dekat trotoar. Kupandangi sejenak becak tuaku hasil menjual pohon jati sembilan sebelas tahun lalu. Sebelum menjauh pergi untuk berteduh, kuganjal ban dengan batu bata yang kupungut dari selokan.
           Kemunculanku sepertinya mengagetkan kedua orang di halte karena tiba-tiba menoleh. Penampilanku tidak serapi mereka. Kaos kumal dan celana pendek hanyalah lungsuran tetangga. Aku tidak peduli jika benak mereka menganggapku seperti pemulung atau pengemis. Nyatanya tak sejalan dengan pikiran, karena pelajar ini mengangguk pelan ke arahku. Anak yang sopan, pikirku. Melihat seragam sekolahnya mengingatkan sosok anakku sendiri. Ia pasti sedang sibuk membungkusi pepes jamur yang sore nanti dijual ke pasar. Ah, maafkan bapakmu ini yang tidak bisa membiayaimu melanjutkan sekolah. Bapak juga minta maaf karena hari ini belum bisa menyanggupi membelikan jilbab seperti yang kau inginkan.
          Kembali aku mengalihkan tatapan ke arah bangku kosong. Satu-satunya dalam kondisi baik hanya bangku di antara mereka, maka segera saja aku memilihnya. Seorang ibu muda tampak sibuk melihat-lihat isi dompet. Sebenarnya, perbuatan itu dapat memancing orang berniat jahat. Tapi keinginanku mengingatkan terhalang oleh wajah pucatnya seperti menahan sesuatu. Mungkin ada uangnya yang hilang. Di mana suaminya? Ibu hamil dengan perut besar sekitar enam bulan, membuatku miris. Apalagi membawa barang-barang keperluan rumah tangga yang cukup berat. Sampai setua ini, bahkan aku tak pernah membebani istriku sedemikian.
            Ia mengambil selembar uang ratusan ribu ditambah lima ribuan yang tak lebih dari empat lembar. Mungkin dugaanku benar, wanita itu menunduk makin rendah dengan tarikan nafas berat. Ia menyebut nama Tuhan dan terdiam.
            “Ada apa, Bu?” tanyaku.
            Wanita itu menoleh dan menatapku ragu. Pandangan terhadap orang asing bisa kutangkap darinya. “Oh, tidak apa-apa, Pak.” Tangannya memasukkan dompet merahnya ke dalam tas.
            Aku menghentikan rasa penasaran lalu mencoba menyandarkan punggung dan membayangkan uang yang kudapat tadi. Sekilas aku mengawang-awang ke atas, lubang atapnya langsung menghubungkanku dengan langit. Dari sini benakku berputar cepat teringat dengan genting dapur yang bocor. Istriku sudah mewanti-wanti agar segera memperbaikinya. Ia beberapa kali memindah tungku dan perabotan sederhana agar terhindar dari tetesan hujan yang kerapkali datang di malam hari. Mataku terpejam, dalam hati aku berdoa bisa mengumpulkan uang lebih banyak hari ini. Namun sebelum menambalkan ban, sejenak saja biarkan aku dihibur dengan bayangan senyum istri dan anak-anakku.
______


Tidak ada komentar:

Posting Komentar