Perut mengeras menahan dorongan dari
dalam. Peluh bercucuran hanya berselang satu detik, menyiratkan kilauan wajah
khawatir. Sshh, mulut Rio mendesis kesal. Jarak tempat parkir Malioboro menuju
ruang bawah tanah terasa berkilo-kilo meter seperti gurun dengan oasenya.
Padahal panggilan alam itu menghentak-hentak tak sabar ingin membebaskan diri.
Rio
mengacuhkan penjual di pinggiran yang menggelar dagangan berupa akik atau tas-tas
kain bermotif batik. Saat ini, Rio hanya sibuk mencari tempat penyelamatan.
Sorot matanya menangkap papan besar terpasang di dekat bangunan yang dulunya gedung
kepatihan. Objek bertuliskan “toilet umum” dengan simbol gender pria, langsung
diikuti mata kakinya. Rio agak terburu-buru menuruni tangga dan segera memasuki
kamar mandi paling dekat. Terkunci dari dalam dan beberapa saat terdengar
guyuran.
Cklekk!
Tersisalah
wajah penuh kelegaan. Nafasnya lebih teratur daripada sebelumnya.
“Jika
tahu begini, aku tidak akan makan daun pepaya!” gerutu Rio sembari mengelus-elus
perut yang semalam terisi lalapan pahit.
Teringat,
Rio datang ke Malioboro untuk membeli kemeja. Sejenak ia urungkan tujuannya karena
mengamati keadaan sekeliling. Ruang bawah tanah ini tergolong bangunan baru
yang dibuat setahun lalu. Tentunya orang-orang datang berkenaan dengan masalah
perut. Ruangannya cukup luas. Tembok mengitari masih polos tanpa
coretan. Kanan dan kiri masing-masing memiliki empat kamar mandi. Di antaranya
terdapat meja kecil untuk menaruh kotak, tempat para pengguna memasukkan
lembaran uang. Dan itulah kenapa Rio masih berdiri terpaku. Bukan karena
tiadanya Pak Sarwan sebagai penjaga toilet. Rio yakin, Pak Sarwan sedang
menunaikan ibadahnya di waktu masuk shalat ashar ini.
“Sejak
kapan dibuat?” Rio menggumam. Tak henti-hentinya ia mengerjap pada sebuah kamar
mandi tepat di belakang meja.
Rio
meragukan keyakinannya sendiri. Tiga minggu sebelumnya, ia masih melihat tembok
itu rata. Dan kini terhitung ada sembilan kamar mandi akibat satu tambahan di
sana. Apakah delapan kamar mandi masih kurang cukup sehingga dibuat satu ruang
lagi? Rio mendesah pelan, ia tak punya banyak waktu untuk menghitung
perbandingan jumlah pengunjung dengan jumlah kamar mandi. Lebih baik ia segera
naik ke atas dan menuntaskan keinginannya.
Sebelum
berbalik, ekor mata Rio sempat menangkap tulisan tak terbaca jelas dari
tempatnya berdiri. Rasa penasaran pun membuatnya mendekat.
“Jangan
diketuk.” Rio membaca kalimat di pintu. Ia menggaruk-garuk kepala kebingungan.
“Kerjaan
orang iseng! Masih baru sudah ditulisi aneh-aneh. Kapan Malioboroku bersih dari
tangan-tangan nakal?”
Mata
Rio menjelajah setiap pintu kamar mandi. Ia tidak melihat tulisan yang sama. Ia
merasa aneh dua kali lipat karena peringatan dan keberadaan tulisan. Hanya satu
kamar mandi ini yang terdapat kalimat tersebut. Sesekali Rio menoleh ke belakang
namun tak ada seorangpun untuk ditanyai.
“Pak
Sarwan pasti sudah tahu. Sudahlah, pasti akan dibersihkannya segera. Tapi...
kenapa tidak boleh diketuk?” Telunjuk Rio siap menekuk untuk mendarat pada
selimut pintu. Ia berhenti sekitar beberapa senti.
Tok!
Tok! Tok!
Hanya
ada satu cara untuk mendapatkan jawaban. Dan itulah yang dilakukan Rio.
Usai
ketukan, tak ada reaksi apapun. Rio hanya mengangkat bahu dan berbalik.
Bersamaan dengan tubuhnya berputar empat puluh lima derajat, pintu kamar mandi
menggelegar keras menabrak tembok. Refleks, Rio menatap isi di dalam. Matanya
bertempur pada sosok berbeda kelamin dengannya.
Rio
akan mencerca jika menemukan oknum berbuat tak senonoh.
Namun kali ini mulutnya terkunci seakan menahan nafas. Wajah perempuan itu
sepucat es beku tanpa ekspresi. Jantung Rio menari liar karena melihat darah
mengalir dari sela-sela paha. Aliran darah memaksanya tertuju pada seonggok
daging merah terkapar diam di dekat lubang WC. Aborsi? Apakah perempuan di
hadapannya ini baru saja melakukan praktek aborsi?
***
“Mas,
ikutan, ya?”
Rio
terhenyak. Buru-buru ia mempersilakan orang di hadapannya untuk duduk. “Monggo,
Bu,” ucap Rio. Seorang ibu dengan tas belanja sambil menggendong balita, tampak
kelelahan. Keringat membasahi kening tanpa membuatnya mengeluh. Beruntung,
bangku ini masih luang untuk diduduki. Jika penuh, dengan senang hati
Rio akan mengalah meski ia sendiri membutuhkan kesempatan bernafas yang
normal.
Pikiran Rio kembali menerawang tentang kejadian kamar mandi beberapa menit
lalu. Jelas-jelas ia sebagai saksi atas percobaan aborsi yang dilakukan seorang
gadis di kamar mandi pria. Karena itulah Rio mengambil langkah seribu untuk meminta
bantuan. Nafas terengah-engah mempertemukan dirinya dengan Pak Sarwan. Dengan satu tarikan, Pak Sarwan ikut meluncur cepat.
“Mana,
Nak?” tanya Pak Sarwan.
“I-itu,
Pak. Di dalam...,” ucap Rio sambil terbungkuk-bungkuk.
“Nak....”
Pak Sarwan memegang punggung Rio.
“Kita
harus lapor polisi, Pak. Kasihan bayinya. Dan gadis itu harus dibawa ke rumah sakit.”
Pak Sarwan terdiam. Tutur bibirnya lirih menyebut istighfar. “Lihatlah.”
Rio
mendongak, ia menuruti telunjuk bapak separuh baya itu.
“Tak
ada apapun,” lanjut Pak Sarwan.
Mulut
Rio terbengong. Wajah pucat menahan erangan sakit dan darah berceceran di lantai kamar mandi tak dijumpainya. Bahkan tembok bersih tidak meninggalkan sedikit pun bekas sekat.
"Tidak apa-apa, Nak. Ia tidak bermaksud mengganggumu."
______
Cerpen ini dibuat untuk Tantangan Menulis dari @KampusFiksi dalam #MalioBaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar