Minggu, 04 Mei 2014

Ketukan


          Perut mengeras menahan dorongan dari dalam. Peluh bercucuran hanya berselang satu detik, menyiratkan kilauan wajah khawatir. Sshh, mulut Rio mendesis kesal. Jarak tempat parkir Malioboro menuju ruang bawah tanah terasa berkilo-kilo meter seperti gurun dengan oasenya. Padahal panggilan alam itu menghentak-hentak tak sabar ingin membebaskan diri.
            Rio mengacuhkan penjual di pinggiran yang menggelar dagangan berupa akik atau tas-tas kain bermotif batik. Saat ini, Rio hanya sibuk mencari tempat penyelamatan. Sorot matanya menangkap papan besar terpasang di dekat bangunan yang dulunya gedung kepatihan. Objek bertuliskan “toilet umum” dengan simbol gender pria, langsung diikuti mata kakinya. Rio agak terburu-buru menuruni tangga dan segera memasuki kamar mandi paling dekat. Terkunci dari dalam dan beberapa saat terdengar guyuran.
              Cklekk!
              Tersisalah wajah penuh kelegaan. Nafasnya lebih teratur daripada sebelumnya.
            “Jika tahu begini, aku tidak akan makan daun pepaya!” gerutu Rio sembari mengelus-elus perut yang semalam terisi lalapan pahit.
            Teringat, Rio datang ke Malioboro untuk membeli kemeja. Sejenak ia urungkan tujuannya karena mengamati keadaan sekeliling. Ruang bawah tanah ini tergolong bangunan baru yang dibuat setahun lalu. Tentunya orang-orang datang berkenaan dengan masalah perut. Ruangannya cukup luas. Tembok mengitari masih polos tanpa coretan. Kanan dan kiri masing-masing memiliki empat kamar mandi. Di antaranya terdapat meja kecil untuk menaruh kotak, tempat para pengguna memasukkan lembaran uang. Dan itulah kenapa Rio masih berdiri terpaku. Bukan karena tiadanya Pak Sarwan sebagai penjaga toilet. Rio yakin, Pak Sarwan sedang menunaikan ibadahnya di waktu masuk shalat ashar ini.
            “Sejak kapan dibuat?” Rio menggumam. Tak henti-hentinya ia mengerjap pada sebuah kamar mandi tepat di belakang meja.
            Rio meragukan keyakinannya sendiri. Tiga minggu sebelumnya, ia masih melihat tembok itu rata. Dan kini terhitung ada sembilan kamar mandi akibat satu tambahan di sana. Apakah delapan kamar mandi masih kurang cukup sehingga dibuat satu ruang lagi? Rio mendesah pelan, ia tak punya banyak waktu untuk menghitung perbandingan jumlah pengunjung dengan jumlah kamar mandi. Lebih baik ia segera naik ke atas dan menuntaskan keinginannya.
            Sebelum berbalik, ekor mata Rio sempat menangkap tulisan tak terbaca jelas dari tempatnya berdiri. Rasa penasaran pun membuatnya mendekat.
            “Jangan diketuk.” Rio membaca kalimat di pintu. Ia menggaruk-garuk kepala kebingungan.
           “Kerjaan orang iseng! Masih baru sudah ditulisi aneh-aneh. Kapan Malioboroku bersih dari tangan-tangan nakal?”
            Mata Rio menjelajah setiap pintu kamar mandi. Ia tidak melihat tulisan yang sama. Ia merasa aneh dua kali lipat karena peringatan dan keberadaan tulisan. Hanya satu kamar mandi ini yang terdapat kalimat tersebut. Sesekali Rio menoleh ke belakang namun tak ada seorangpun untuk ditanyai.
            “Pak Sarwan pasti sudah tahu. Sudahlah, pasti akan dibersihkannya segera. Tapi... kenapa tidak boleh diketuk?” Telunjuk Rio siap menekuk untuk mendarat pada selimut pintu. Ia berhenti sekitar beberapa senti.
              Tok! Tok! Tok!
              Hanya ada satu cara untuk mendapatkan jawaban. Dan itulah yang dilakukan Rio.
             Usai ketukan, tak ada reaksi apapun. Rio hanya mengangkat bahu dan berbalik. Bersamaan dengan tubuhnya berputar empat puluh lima derajat, pintu kamar mandi menggelegar keras menabrak tembok. Refleks, Rio menatap isi di dalam. Matanya bertempur pada sosok berbeda kelamin dengannya.
            Rio akan mencerca jika menemukan oknum berbuat tak senonoh. Namun kali ini mulutnya terkunci seakan menahan nafas. Wajah perempuan itu sepucat es beku tanpa ekspresi. Jantung Rio menari liar karena melihat darah mengalir dari sela-sela paha. Aliran darah memaksanya tertuju pada seonggok daging merah terkapar diam di dekat lubang WC. Aborsi? Apakah perempuan di hadapannya ini baru saja melakukan praktek aborsi?
***
            “Mas, ikutan, ya?”
            Rio terhenyak. Buru-buru ia mempersilakan orang di hadapannya untuk duduk. “Monggo, Bu,” ucap Rio. Seorang ibu dengan tas belanja sambil menggendong balita, tampak kelelahan. Keringat membasahi kening tanpa membuatnya mengeluh. Beruntung, bangku ini masih luang untuk diduduki. Jika penuh, dengan senang hati Rio akan mengalah meski ia sendiri membutuhkan kesempatan bernafas yang normal.
            Pikiran Rio kembali menerawang tentang kejadian kamar mandi beberapa menit lalu. Jelas-jelas ia sebagai saksi atas percobaan aborsi yang dilakukan seorang gadis di kamar mandi pria. Karena itulah Rio mengambil langkah seribu untuk meminta bantuan. Nafas terengah-engah mempertemukan dirinya dengan Pak Sarwan. Dengan satu tarikan, Pak Sarwan ikut meluncur cepat.
            “Mana, Nak?” tanya Pak Sarwan.
            “I-itu, Pak. Di dalam...,” ucap Rio sambil terbungkuk-bungkuk.
            “Nak....” Pak Sarwan memegang punggung Rio.
            “Kita harus lapor polisi, Pak. Kasihan bayinya. Dan gadis itu harus dibawa ke rumah sakit.”
             Pak Sarwan terdiam. Tutur bibirnya lirih menyebut istighfar. “Lihatlah.”
             Rio mendongak, ia menuruti telunjuk bapak separuh baya itu.
            “Tak ada apapun,” lanjut Pak Sarwan.
            Mulut Rio terbengong. Wajah pucat menahan erangan sakit dan darah berceceran di lantai kamar mandi tak dijumpainya. Bahkan tembok bersih tidak meninggalkan sedikit pun bekas sekat. 
              "Tidak apa-apa, Nak. Ia tidak bermaksud mengganggumu."
                                                                         ______
Cerpen ini dibuat untuk Tantangan Menulis dari @KampusFiksi dalam #MalioBaru
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar