Ya Tuhan,
tanganku tiba-tiba gemetar memegang plastik segitiga. Tertahan tepat di atas
huruf M ke-dua pada kata “mencintaim-“. Ukiran whipped cream di sepanjang
lingkaran, untung bisa kupatri dengan rapi tanpa sisa lelehan. Polanya sengaja
kubuat bertumpuk agar memberikan kesan bunga bermekaran. Serumit itu nyatanya
tak membuatku bergeming dan melontarkan keluhan. Tapi kata-kata di tengahnya...
sungguh mujarab, mampu mendiamkanku.
Kerlingan itu sebenarnya tak menarik. Senyum
yang tak ada manis-manisnya sama sekali, rajin ia sedekahkan pada teman-teman
di toko. Sapaan tangan mengudara sering mengetuk hati mereka hingga terdengar
cekikikan tertutup tangan setelah berlalu dirinya.
“Wajah rupawan, tubuh tegap, dan
senyum mempesona itu kau bilang datar? Ya ampun, aku tak percaya memiliki rekan
kerja abnormal!” gerutu Dian sambil mengaduk-aduk adonan. Masker di mulutnya
bergerak-gerak menuruti omelan.
“Aku lebih kaget mendengarmu mengagumi
seseorang dari balik baju!” selorohku. Wajahku sedikit mengendur mendengar bel.
“Selamat datang di toko kami!” Senyum kuberikan pada seorang wanita menggandeng
anaknya meski tak tampak di balik maskerku. Sejenak tidak mengacuhkan teman di
samping.
Dian melirik kesal dan kutanggapi
dengan gelengan. “Aku tidak ingin seperti kalian yang terjerat cinta pada
pandangan pertama. Bagiku itu nonsens!”
“AWW! Awas kau, Intaaan!” jerit Dian
setelah berhasil kucubit lemak pinggangnya. Aku terburu lari untuk melayani
pembeli.
_o0o_
Kugigit bibir bawah dengan tujuan
menutupi rasa gugup. Pria di depanku dengan enteng menjelaskan bentuk kue untuk
pesanan minggu depan. Diam tapi aku memperhatikan. Tak kulihat penampilan
seorang eksekutif muda berjas membawa tas jinjing dan i-pad di selimut tangan. Sebaliknya,
pakaiannya berupa kaos berkerah dengan gambar atlet siap memukul bola golf.
Keningnya berkeringat dan itu dibiarkan tanpa sehelai saputangan membilas. Yang
tak kumengerti, suara tawanya sangat lepas saat ia gagal membuat sketsa kue. Kusadari
rasa gugup menyerang membawa kabar buruk bila aku jatuh cinta pada pria
penjerat cinta di toko kami. Hanya melalui tawa.
_o0o_
“Akhir-akhir ini kau sering melamun. Ada
apa, Tan?” Dian menyandarkan diri ke tembok, kebiasaannya melepas gerah di
ambang AC.
Aku merengut. Bukannya tidak
menghargai perhatiannya. Tak pantas aku bercerita di waktu kerja dengan dalih sepi
pembeli. “Tidak ada. Nih, sudah kubungkus rapi. Mang Imun akan mengantarnya,
kan?” Kutunjuk kue ulangtahun di lemari es. Dua jam lalu kumasukkan di sana, menjaga
agar tetap cantik setelah dibuka.
“Mang Imun belum balik, sementara Galih
dan Wiwik baru pergi makan siang. Padahal pesanan itu harus diantar satu jam
lagi. Kamu saja yang antar, ya!”
Dian menangkap gelagat mataku yang memberinya
pertanyaan kenapa-harus-aku. “Hehehe, hari ini Bang Zul akan datang mengirim
bahan kue.”
“Haahh, kau ini! Ya sudah biar
kuantar. Sertakan alamatnya.” Kusimpan celemek di dapur belakang lalu
menghampiri Dian dengan seribu cengengesan.
“Terimakasih, ya.”
“Semoga kencan turbomu sukses,” ucapku
sebelum membuka pintu. Aku tidak mendengar balasan karena pintu berhasil
kututup segera. Setidaknya aku memberi kesempatan uji pendekatan dirinya dengan
sales muda itu. Dian cukup matang jika seandainya hubungan itu terjalin sampai
pelaminan. Kunilai, Bang Zul dapat ngemong
dirinya yang sering kalut pendirian menilai sosok pria.
Bicara soal pendirian, aku tersenyum
masam. Itu membicarakanku pula. Tawa pria itu masih mengalun indah di deretan
mimpi-mimpiku. Hanya aku yang merasakan. Bahkan orang itu kuberi sebutan
sendiri sebagai pria renyah. Orang lain bahkan Dian sekalipun, tidak kuizinkan
mengetahuinya.
Sekali lagi kucek nomor rumah yang
sudah terbaca jelas. Tinggal memencet bel dan memberikan kue pesanan.
“Maaf, Neng menunggu lama.” Seorang
bapak paruh baya tergopoh-gopoh membukakan pagar. Ia menerima tas plastik
dariku.
Kubalikkan badan setelah semua beres.
Pulang secepat ini semoga tidak mengganggu acara Dian. Aku khawatir jika jumlah
pembeli merepotkannya.
“Hahahaha!”
Suara itu menuntunku untuk menoleh.
Penggalan rasa senang yang kutangkap di toko minggu lalu kembali kudapat dari arah
mobil di parkiran. Kaca itu tak sehitam mobil lainnya karena sosok di dalam agak
samar terlihat.
Cintaku terbentur pada suara wanita di
dekatnya.
Langsung aku melengos tanpa niat
menangkap basah mereka sedang menipiskan jarak wajah. Tentu saja, ini berada
dalam ketakutanku. Aku bukanlah siapa-siapa. Menertawai sakit hati tak
beralamat ini.
Satu kejadian cukup mengingatkanku bahwa
cinta pada pandangan pertama itu menyakitkan. Tidak bisa mengetahui sosok
sebenarnya seperti juri dadakan terhadap obyek pengamatan. Penilaianku semakin
dikuatkan dengan datangnya pesanan beberapa bulan terakhir. Pria renyah itu memesan
kue ditujukan untuk sosok wanitanya yang terus berbeda.
Dan apa yang harus kulakukan jika
kalimat indah itu disusun olehku? “Untukmu... Aku mencintaimu”. Seperti saat
ini, tanganku gemetar tiap kali menyelesaikan kata terakhir. Berganti nama-nama
wanita di antara selipan kalimat. Untukmu Feby, untukmu Maya, untukmu Dewi. Aku
hafal nama-nama mereka.
_o0o_
Kopi hangat sedikit mengurangi kantuk.
Dian baru saja pulang dijemput kakaknya karena tidak mengizinkan pulang sendiri
dalam naungan hujan. Di toko ini, aku pun tinggal berbenah diri dan meluruskan
punggung di atas tempat tidur. Payung mini selalu setia sembunyi dalam tas jadi
tidak membuatku khawatir menerjang guyuran air.
“Selamat malam!”
Aku melonjak kaget karena ada pembeli bandel
masuk meski papan “closed” telah kupampang.
“Untunglah....” Desahan lega
terdengar. Aku sendiri memasang wajah kaku melihat siapa yang datang.
“Maaf, tapi toko kami sudah tutup.”
Kucoba tenang mengabaikan luka pada pria renyah di depanku.
“Aku tahu. Tapi ini sangat penting.
Soal kue pesananku kemarin ada sedikit kesalahan.”
Kesalahan? Pikiran dan perasaanku
beradu membayangkan kesalahan pada sang penerima. Mungkinkah... Aku berhenti
menafsirkan. Kupandangi pundak bajunya sedikit kuyup. Kemungkinan ia membawa
mobil dan berlari tanpa payung ke sini.
“Silakan duduk. Dan anda bisa
menjelaskannya. Ehm... mau minum apa?”
“Tidak, aku akan cepat saja.
Begini....” Ia menarik kursi hingga suara decit menyebar.
“Tak kusangka, kue pesananku sangat
cantik malah melebihi harapanku. Tetapi apa yang terlukis di sana ada sesuatu
yang salah. Kupikir itu ditujukan untuk seorang kekasih.”
Aku mendengarkan tapi belum paham. “
Maksud anda?”
“Sepertinya sang pembuat mengira itu
hadiah untuk pasangan. Padahal bukan. Bentuk hati yang mendominasi itu
berpengaruh juga ternyata, hahaha!”
Lagi, tawa yang kusukai meluncur bagai
gesekan biola yang sering kulihat di televisi milik Maylafayza. Lepas dan
menyenangkan. “Jadi bukan hadiah untuk... kekasih anda?” Aku meremas rok tanpa
sepengetahuannya.
“Ah... kekasihku, Sandra, sempat
cemburu. Tapi setelah kujelaskan itu untuk anak-anak panti asuhan yang
berulangtahun, ia mengerti. Dan itulah kenapa aku memberitahumu agar hiasan di
atas kue pesanan lusa tidak terulang.”
Aku tercengang. Bukan mendengar pengakuan
ia memiliki kekasih tapi perhatian yang diberikan pada anak-anak panti asuhan
tersebut. Selama ini aku salah menilainya.
Pria renyah itu pergi setelah
pernyataan maaf kuucapkan karena merasa sebagai pembuat kuenya. Bukannya marah,
ia malah menertawaiku yang sudah mati-matian menahan rona merah. Luka yang
sempat menjalar mungkin tidak akan bisa hilang dengan cepat. Dan seharusnya aku
belajar dari kesalahan pertama cara mencintai seseorang. Ah, sepertinya itu tak
berlaku untukku malam ini. Jantungku berdegup melebihi kecepatan jarum detik saat
memandangnya. Lebih-lebih sikap mempedulikan anak-anak itu, menyedot segenap perhatianku yang semula mulai runtuh. Bila
Tuhan mengizinkan, aku ingin menumbuhkan perasaan itu lagi, meski dalam diam.
____
Cerita ini diikutkan dalam Tantangan Menulis #CintaDuaCara dari @KampusFiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar