Minggu, 11 Mei 2014

Cinta dalam Diam


           Ya Tuhan, tanganku tiba-tiba gemetar memegang plastik segitiga. Tertahan tepat di atas huruf M ke-dua pada kata “mencintaim-“. Ukiran whipped cream di sepanjang lingkaran, untung bisa kupatri dengan rapi tanpa sisa lelehan. Polanya sengaja kubuat bertumpuk agar memberikan kesan bunga bermekaran. Serumit itu nyatanya tak membuatku bergeming dan melontarkan keluhan. Tapi kata-kata di tengahnya... sungguh mujarab, mampu mendiamkanku.
          Kerlingan itu sebenarnya tak menarik. Senyum yang tak ada manis-manisnya sama sekali, rajin ia sedekahkan pada teman-teman di toko. Sapaan tangan mengudara sering mengetuk hati mereka hingga terdengar cekikikan tertutup tangan setelah berlalu dirinya. 
          “Wajah rupawan, tubuh tegap, dan senyum mempesona itu kau bilang datar? Ya ampun, aku tak percaya memiliki rekan kerja abnormal!” gerutu Dian sambil mengaduk-aduk adonan. Masker di mulutnya bergerak-gerak menuruti omelan.
          “Aku lebih kaget mendengarmu mengagumi seseorang dari balik baju!” selorohku. Wajahku sedikit mengendur mendengar bel. “Selamat datang di toko kami!” Senyum kuberikan pada seorang wanita menggandeng anaknya meski tak tampak di balik maskerku. Sejenak tidak mengacuhkan teman di samping.
           Dian melirik kesal dan kutanggapi dengan gelengan. “Aku tidak ingin seperti kalian yang terjerat cinta pada pandangan pertama. Bagiku itu nonsens!”
          “AWW! Awas kau, Intaaan!” jerit Dian setelah berhasil kucubit lemak pinggangnya. Aku terburu lari untuk melayani pembeli.
_o0o_

          Kugigit bibir bawah dengan tujuan menutupi rasa gugup. Pria di depanku dengan enteng menjelaskan bentuk kue untuk pesanan minggu depan. Diam tapi aku memperhatikan. Tak kulihat penampilan seorang eksekutif muda berjas membawa tas jinjing dan i-pad di selimut tangan. Sebaliknya, pakaiannya berupa kaos berkerah dengan gambar atlet siap memukul bola golf. Keningnya berkeringat dan itu dibiarkan tanpa sehelai saputangan membilas. Yang tak kumengerti, suara tawanya sangat lepas saat ia gagal membuat sketsa kue. Kusadari rasa gugup menyerang membawa kabar buruk bila aku jatuh cinta pada pria penjerat cinta di toko kami. Hanya melalui tawa.
_o0o_

          “Akhir-akhir ini kau sering melamun. Ada apa, Tan?” Dian menyandarkan diri ke tembok, kebiasaannya melepas gerah di ambang AC.
           Aku merengut. Bukannya tidak menghargai perhatiannya. Tak pantas aku bercerita di waktu kerja dengan dalih sepi pembeli. “Tidak ada. Nih, sudah kubungkus rapi. Mang Imun akan mengantarnya, kan?” Kutunjuk kue ulangtahun di lemari es. Dua jam lalu kumasukkan di sana, menjaga agar tetap cantik setelah dibuka.
         “Mang Imun belum balik, sementara Galih dan Wiwik baru pergi makan siang. Padahal pesanan itu harus diantar satu jam lagi. Kamu saja yang antar, ya!”
          Dian menangkap gelagat mataku yang memberinya pertanyaan kenapa-harus-aku. “Hehehe, hari ini Bang Zul akan datang mengirim bahan kue.”
            “Haahh, kau ini! Ya sudah biar kuantar. Sertakan alamatnya.” Kusimpan celemek di dapur belakang lalu menghampiri Dian dengan seribu cengengesan.
            “Terimakasih, ya.”
      “Semoga kencan turbomu sukses,” ucapku sebelum membuka pintu. Aku tidak mendengar balasan karena pintu berhasil kututup segera. Setidaknya aku memberi kesempatan uji pendekatan dirinya dengan sales muda itu. Dian cukup matang jika seandainya hubungan itu terjalin sampai pelaminan. Kunilai, Bang Zul dapat ngemong dirinya yang sering kalut pendirian menilai sosok pria.
          Bicara soal pendirian, aku tersenyum masam. Itu membicarakanku pula. Tawa pria itu masih mengalun indah di deretan mimpi-mimpiku. Hanya aku yang merasakan. Bahkan orang itu kuberi sebutan sendiri sebagai pria renyah. Orang lain bahkan Dian sekalipun, tidak kuizinkan mengetahuinya. 
          Sekali lagi kucek nomor rumah yang sudah terbaca jelas. Tinggal memencet bel dan memberikan kue pesanan.
      “Maaf, Neng menunggu lama.” Seorang bapak paruh baya tergopoh-gopoh membukakan pagar. Ia menerima tas plastik dariku.
          Kubalikkan badan setelah semua beres. Pulang secepat ini semoga tidak mengganggu acara Dian. Aku khawatir jika jumlah pembeli merepotkannya.
          “Hahahaha!”
       Suara itu menuntunku untuk menoleh. Penggalan rasa senang yang kutangkap di toko minggu lalu kembali kudapat dari arah mobil di parkiran. Kaca itu tak sehitam mobil lainnya karena sosok di dalam agak samar terlihat.
          Cintaku terbentur pada suara wanita di dekatnya.
         Langsung aku melengos tanpa niat menangkap basah mereka sedang menipiskan jarak wajah. Tentu saja, ini berada dalam ketakutanku. Aku bukanlah siapa-siapa. Menertawai sakit hati tak beralamat ini. 
      Satu kejadian cukup mengingatkanku bahwa cinta pada pandangan pertama itu menyakitkan. Tidak bisa mengetahui sosok sebenarnya seperti juri dadakan terhadap obyek pengamatan. Penilaianku semakin dikuatkan dengan datangnya pesanan beberapa bulan terakhir. Pria renyah itu memesan kue ditujukan untuk sosok wanitanya yang terus berbeda.
          Dan apa yang harus kulakukan jika kalimat indah itu disusun olehku? “Untukmu... Aku mencintaimu”. Seperti saat ini, tanganku gemetar tiap kali menyelesaikan kata terakhir. Berganti nama-nama wanita di antara selipan kalimat. Untukmu Feby, untukmu Maya, untukmu Dewi. Aku hafal nama-nama mereka.
_o0o_

          Kopi hangat sedikit mengurangi kantuk. Dian baru saja pulang dijemput kakaknya karena tidak mengizinkan pulang sendiri dalam naungan hujan. Di toko ini, aku pun tinggal berbenah diri dan meluruskan punggung di atas tempat tidur. Payung mini selalu setia sembunyi dalam tas jadi tidak membuatku khawatir menerjang guyuran air.
          “Selamat malam!”
          Aku melonjak kaget karena ada pembeli bandel masuk meski papan “closed” telah kupampang.
          “Untunglah....” Desahan lega terdengar. Aku sendiri memasang wajah kaku melihat siapa yang datang.
          “Maaf, tapi toko kami sudah tutup.” Kucoba tenang mengabaikan luka pada pria renyah di depanku.
      “Aku tahu. Tapi ini sangat penting. Soal kue pesananku kemarin ada sedikit kesalahan.”
          Kesalahan? Pikiran dan perasaanku beradu membayangkan kesalahan pada sang penerima. Mungkinkah... Aku berhenti menafsirkan. Kupandangi pundak bajunya sedikit kuyup. Kemungkinan ia membawa mobil dan berlari tanpa payung ke sini.
             “Silakan duduk. Dan anda bisa menjelaskannya. Ehm... mau minum apa?”
        “Tidak, aku akan cepat saja. Begini....” Ia menarik kursi hingga suara decit menyebar.
            “Tak kusangka, kue pesananku sangat cantik malah melebihi harapanku. Tetapi apa yang terlukis di sana ada sesuatu yang salah. Kupikir itu ditujukan untuk seorang kekasih.”
             Aku mendengarkan tapi belum paham. “ Maksud anda?”
         “Sepertinya sang pembuat mengira itu hadiah untuk pasangan. Padahal bukan. Bentuk hati yang mendominasi itu berpengaruh juga ternyata, hahaha!”
          Lagi, tawa yang kusukai meluncur bagai gesekan biola yang sering kulihat di televisi milik Maylafayza. Lepas dan menyenangkan. “Jadi bukan hadiah untuk... kekasih anda?” Aku meremas rok tanpa sepengetahuannya.
          “Ah... kekasihku, Sandra, sempat cemburu. Tapi setelah kujelaskan itu untuk anak-anak panti asuhan yang berulangtahun, ia mengerti. Dan itulah kenapa aku memberitahumu agar hiasan di atas kue pesanan lusa tidak terulang.”
          Aku tercengang. Bukan mendengar pengakuan ia memiliki kekasih tapi perhatian yang diberikan pada anak-anak panti asuhan tersebut. Selama ini aku salah menilainya. 
          Pria renyah itu pergi setelah pernyataan maaf kuucapkan karena merasa sebagai pembuat kuenya. Bukannya marah, ia malah menertawaiku yang sudah mati-matian menahan rona merah. Luka yang sempat menjalar mungkin tidak akan bisa hilang dengan cepat. Dan seharusnya aku belajar dari kesalahan pertama cara mencintai seseorang. Ah, sepertinya itu tak berlaku untukku malam ini. Jantungku berdegup melebihi kecepatan jarum detik saat memandangnya. Lebih-lebih sikap mempedulikan anak-anak itu, menyedot segenap perhatianku yang semula mulai runtuh. Bila Tuhan mengizinkan, aku ingin menumbuhkan perasaan itu lagi, meski dalam diam.
                                                       ____

Cerita ini diikutkan dalam Tantangan Menulis #CintaDuaCara dari @KampusFiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar