Minggu, 18 Mei 2014

Janji Seorang Suami

Semua gadis di dunia ini pasti menginginkan menikah dengan pemuda yang dicintainya. Begitu pula sang pemuda, ia juga mencintai gadis itu. Ya, saling mencintai.Tapi, bagaimana jika tidak ada cinta di antara keduanya? Atau salah satu pihak yang mencintai? Sementara menata hati, biduk rumah tangga harus mereka perjuangkan dari hantaman keras semesta. Sungguh, itu bukan hal sederhana.  Keadaan seperti itu berperan nyata tanpa diminta.

Ah, aku tersenyum miris membicarakan hidupku. Memiliki seorang suami yang sangat kucintai meski tak ada cinta darinya. Merajut benang kusut tak semudah yang dibayangkan. Sesulit perasaan Iza untuk kutembus selama tiga bulan ini.
                                                        _o0o_     
                 
Baru saja Iza meninggalkan rumah bersama tas kerja yang kusiapkan. Aroma wangi pakaiannya hanya bisa kuendus dari jauh. Sebagai istri, kumemiliki doa dan kepercayaan untuknya. Tak kupungkiri, ada kelegaan setiap Iza pulang meski menyodorkan wajah dingin. Tentunya tetap kusambut ramah dan mempersiapkan air hangat untuknya mandi. Kala makan, kami fokus pada dentingan piring dan gelas tanpa bercengkerama setelahnya. Aku tidak apa. Seperti yang kukatakan, aku lega mendapatinya dalam keadaan selamat. 

Malam ini lain, berjam-jam aku menatap makanan di meja menunggu Iza pulang. Sup tofu kesukaannya sudah dua kali kupanaskan. Sekarang menyisakan suam-suam lemah. Tak lebih dari sepuluh menit pasti kembali pada titik suhu normal ruangan. 

Tirai disibak masih menampakkan rerumputan berkalang sepi. Remang malam begitu lihai terbagi. Telepon Iza tak aktif membuat gusar berkepanjangan. Ah, bodoh! Seharusnya aku meminta nomor telepon teman-temannya dan tempatnya bekerja.

Tok! Tok! Tok!

Pendengaranku luruh. Pukul sembilan malam. Jangan sampai seperti di sinetron. Ketika membuka pintu dan harus beradu dengan seseorang berseragam polisi apalagi memberitahukan bahwa... tidak-tidak! Aku tidak boleh berpikir buruk.
“Selamat malam!”

Kutahan nafas karena kekhawatiranku melesat jauh dari kebenaran. Tapi tergantikan perasaan tak menentu saat menangkap binar kecantikan seorang wanita.

“Boleh saya masuk?” tanyanya sedikit mencuri pandang ruang tamu. “Saya Gina, sekretaris Pak Iza,” jelasnya mengaku bernama Gina.

Aku terkesiap malu karena tak segera mempersilakan duduk. “Maaf, saya istrinya, Kinasih. Selamat malam dan silakan masuk.” Dalam hati masih mereka-reka acara resepsi kami waktu itu. Sepertinya sosok ini tidak kutemui saat perjamuan khusus rekan-rekan kerja Iza. Lalu apakah dirinya berbohong atau ingatanku yang buruk, aku tak tahu.

Gina melewatiku. Ia berjalan santun dan sejenak menikmati aksesoris besar di dinding. Foto wajah bahagiaku bersama Iza saat menikah. Tanganku meraih lengan Iza. Pandangannya lurus pada fotografer tanpa peduli mataku berharap perhatiannya.

“Jadi... ada apa?” Pertanyaanku mengawali obrolan setelah Gina mendaratkan tubuh ke sofa.
“Oh, maaf saya mengganggu kesibukan anda. Tujuan saya kemari berhubungan dengan Pak Iza yang sampai sekarang belum pulang.”

Aku mengernyit. Sedekat itukah hubungan sekretaris dengan atasannya? Atau aku wanita rumahan kurang pergaulan? Aku wanita biasa, asli dari kampung yang mengenyam kehidupan kota secara dadakan. Aku belum mengerti soal relasi dan kesibukan Iza selama di kantor. “Suami saya memang belum pulang. Bahkan saya kesulitan menghubunginya.”

Gina terdiam. Tampaknya matanya lebih tertarik mengamati penampilanku. Aku risih.  Kuakui pakaiannya bagus. Rok setinggi lutut warna hitam dan baju bergaris-garis warna senada. Ditambah cardigan warna putih tulang menambah kesan seorang wanita karir fashionable. Lalu keadaanku... seharian di rumah hanya mengenakan baju terusan berbahan kaos. Seperti apakah trend baju di luar sana, bukan prioritasku. Jika diperhatikan seksama ada guratan hitam, bekas cipratan minyak di punggung tangan. Tanpa ada pembantu maka spatula menjadi peganganku sehari-hari. Dan Gina, jemari mulusnya mengenggam tas kecil bermerk internasional.

“Aku tahu di mana suamimu. Maaf, bolehkah aku memanggil dengan kamu?” Mulutku jelas terlihat membuka. Heran. Setelah mengucapkan pernyataan yang masih kucerna, Gina menyandarkan punggung.
“Ehm... ada apa?” Aku tak menanggapi permintaannya. Aku lebih peduli keberadaan Iza.

Gina memamerkan barisan gigi. Senyum tanpa paksaan diberikannya. “Jangan khawatir, suamimu ada rapat mendadak dengan klien di Bandung. Handphonenya sempat jatuh, makanya tidak bisa dihubungi.”

Aku mengangguk pelan. Merasa sedikit aneh, Gina berusaha mengakrabkan diri dengan memanggil kami demikian. Juga terselip kecewa kenapa Iza tidak menelepon rumah lewat kantor dan membiarkanku dirundung gelisah.

“Sebenarnya ia memintaku menelepon tapi kupikir aku harus menemuimu langsung. Sekalian memberitahu sesuatu. Ya, kamu tahu kan, ia sangat sibuk.”
Aku menarik nafas. “Kau sangat mengenalnya?”
“Tentu, kami saling mengenal sejak kecil. Bahkan hubungan kami hampir diikrarkan di depan penghulu jika saja kamu tidak mengambilnya.”

Deg! Seperti dedaunan hening menikmati alam diterpa angin tiba-tiba. Kaget luar biasa.

“Apa... maksudmu?” Kuremas baju di bagian lutut. Gina makin santer menjelaskan.
“Aku tahu kisah kalian. Tiba-tiba kamu mengaku telah dihamili olehnya. Padahal aku baru saja dilamar. Bersusah payah harus meredam amarah orangtuaku. Meyakinkan mereka bahwa Iza tetaplah pria yang baik. Hidupku sendiri kacau. Sebagai wanita, kamu bisa bayangkan bagaimana perasaanku waktu itu.”

Airmataku tak punya wewenang minta izin. Lancar mengalir seperti guyuran hujan di tanah kering. 

“Kau telah kehilangan janinmu, kan? Itu berarti tanggungjawab Iza juga berakhir sesuai perjanjian. Jadi, kuminta Iza agar kembali ke sisiku.”

Kuseka airmata meski tak tuntas sampai kering. Wanita ini benar. Perjanjianku dengan Iza tertulis di lembar kertas. Iza benar-benar masih mencintainya. Surat perjanjian kami bahkan diberitahukan pada Gina. Oh Tuhan, di mana Engkau? Tak pernah aku sesering ini menyebut-Mu dalam hati. Apa yang harus kulakukan? Salahkah aku karena Iza telah meninggalkan wanita yang dicintainya demi janinku waktu itu? Apakah salah jika meminta pertanggungjawabannya gara-gara dikuasai alkohol hina? Sekarang, wanita di depanku memintaku bercerai. Ia ingin Iza kembali. Tolong kuatkan aku, Tuhan.
_o0o_

Sprei ranjang telah kuganti. Terhirup aroma lavender sedikit menenangkan. Pukul sebelas malam dan aku setia menunggu suamiku keluar dari kamar mandi. Aku merasa Iza agak terkejut saat kusambut pulang. Mungkin melihat sembab di area mataku yang tak berhasil dihilangkan oleh bilasan air. 

Cklekk!

Tak sengaja kami bertemu tatap. Iza berdiri terpaku dan mengalihkan perhatian pada sprei biru bermotif bola-bola. Kuberikan kesempatan agar ia leluasa berganti piyama. Tapi kuurungkan karena suaranya memanggil.
 
“Apakah Gina datang kemari?” Iza duduk di ranjang. Tubuhnya dilapisi kaos tampak nyaman menikmati empuknya busa ranjang.

Aku mendekat beberapa langkah. Menarik kursi di depan kaca rias. Firasatku, Iza mengajak berbicara serius. “Ya, ia memberitahu semuanya. Aku berterimakasih telah diingatkan pada perjanjian itu.”
“Lalu apa yang kamu lakukan?”

Kutatap wajahnya. Tampak kelelahan menghinggapi. “Bisakah kita bicarakan besok? Kamu butuh istirahat.”
“Sekarang atau besok tak ada bedanya.”
“Kalau begitu kamu sudah tahu jawabanku. Perjanjian itu sudah menjelaskannya, kan? Atau hanya ingin mengujiku?” Kugigit bibir bawah. Maaf, Iza, aku tidak bermaksud marah. 

Iza beranjak. Kepalaku memutar seiring gerak tubuhnya menghampiri lemari. Bagian paling bawah terdapat barisan laci. “Pernikahan kita baru berjalan tiga bulan. Jika bercerai apa yang terjadi pada keluarga kita?” Iza mengambil map. Aku tahu isinya.

“Aku bisa menjelaskan pada ayah dan ibu.”
“Apakah posisimu disulitkan kertas ini? Seandainya tidak ada, apakah kamu akan melepas dan membiarkanku pergi?”

Aku tak mengerti arah pembicaraan Iza. Kutanggapi dengan mimik bisu sementara ia terus berucap.

“Kamu tahu, saat mengucapkan lafal ijab qabul hatiku berdesir tak karuan. Kubayangkan untaian kalimat itu mengguncang dunia karena terpaut janjiku bukan hanya padamu tapi juga untuk-Nya. Itu bukan kalimat main-main yang bisa ditaklukkan perjanjian bodoh ini.”

Aku tertegun. Iza tiba-tiba mengeluarkan kertas perjanjian dan menyerahkannya padaku. “Iza?”
“Terserah apa yang kau lakukan. Tapi aku punya permintaan, tetaplah bersanding denganku dan ajari cara mencintaimu.”
“Tapi—“
“Aku ingin menjadi suami yang baik. Maaf jika selama ini aku bersikap dingin. Aku ingin memahamimu tapi tidak tahu harus memulainya darimana.”

Aku berdiri langsung memeluk erat suamiku. Kaosnya putih polos, kini tercetak pulau air tak terbentuk. “Aku mencintaimu... Aku takut kehilanganmu karena Gina. Gina—“

“Gina masa laluku dan kau masa depanku. Soal perjanjian itu tak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Bukankah saksinya adalah Tuhan? Tuhan pasti lebih meridhai janjiku sebagai suami, bukan pria pengecut.”
 ____

Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #KalimatPertama dari @KampusFiksi.
Tiga kalimat pertama diambil dari novel Notes to You karya Mufidatun Fauziyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar