Minggu, 01 Juni 2014

Masih Ada Senyum Untukku



Perapian dari tumpukan ranting kecil terlihat megap-megap diserang alunan angin. Tangan Tian berusaha melindungi, sementara aku menekan kekhawatiran jangan sampai padam sebelum pagi menyapa. Dingin cukup mencekam tapi ini tak lebih buruk dari situasi kami yang sedemikian beku. Sesekali aku mendongak. Kudapati wajah Tian tak bergeming dari kebisuan.

Lamat, aku tercenung memperoleh temuan baru. Duduk berhadapan, pencarian mataku tertuju pada raut sedihnya. Sengaja kuturunkan beberapa derajat mengalihkan tatapan ke perapian. Dua jam lalu kami berteriak saling menyerang kata dengan puncak kemenanganku. Huh, tidak! Mengenal Tian dua puluh tahun tak pernah tertulis dalam kamusku menang darinya. Tian sosok cerdas. Sejak SMP sering ikut olimpiade matematika dan lomba debat bahasa Inggris. Jika saat itu terdiam tanpa membalas kalimatku, kupastikan dia hanya mengalah. 

Perapian menyala stabil kembali. Tian terlihat lebih santai dan mengubah posisi duduknya dengan melipat kedua kaki. Bersila.
“Tidak perlu menunggu subuh, sebentar lagi kita pulang.”
 
Bibir refleks kumanyunkan. Selesai bicara, Tian menatapku tanpa berharap jawaban. Apakah dia ingin memulai pertengkaran lagi?

“Aku sudah menghubungi mamamu tentang keberadaanmu.”
“Tidak perlu repot-repot, mama sudah tahu kalau aku pergi,” sahutku.

Tian menghela nafas. Dia menambah beberapa ranting agar menyala lebih besar. “Tapi tidak akan menyangka kalau kau tersesat. Bisa kau bayangkan betapa khawatirnya mamamu.”
“Oh, lalu setiba di rumah kau bilang yang menemukanku? Berlagak seperti pahlawan?”

Tian menyipitkan mata, enggan menanggapi. Sementara itu, kulempar kerikil ke perapian hingga melontarkan bintang api ke udara. Harapan agar tak padam sepertinya terkikis.
“Hentikan, Aira! Kau mau kaku kedinginan?”
“Kenapa masih peduli padaku, hah? Tak seharusnya kau ada di sini!”
“Kalau aku tidak cepat-cepat menyusulmu, sampai sekarang kau ada di mana? Jangan membuat mamamu khawatir! Kau bukan anak kecil lagi! Kau mau terus merepotkan? Kau harus bisa jaga diri karena aku tidak bisa menjagamu terus, kan?!”

Lagi. Tian membentakku. Tapi nyeri itu hadir ketika kalimatnya mengingatkan posisiku baginya. Tiapkali mendengar suaranya memuncak, aku menyambut rindu kelembutannya sebelum bertemu wanita itu. Aku bingung kenapa dia harus berubah. Dan aku semakin tidak mengerti kenapa melihat kesedihan di wajahnya lagi. Bukankah seharusnya aku yang memasang raut itu?

Aku terdiam lalu membelakangi Tian karena ingin menyembunyikan airmata. “Mamaku... sangat mempercayaimu,” ucapku menatap pepohonan yang sulit kukenali.
“Aku tahu.”
“Mama sangat yakin kalau kau akan menjagaku dengan baik.” Ranting pohon menggoyangkan mahkotanya. Diterpa angin dan mendadak pergi tanpa pamit. Kubayangkan Tian di belakangku sedang sibuk menjaga perapian.
“Menurutmu itu terbukti?” tanya Tian.
“Sampai saat ini, ya. Tapi setelah pernikahanmu maka ada bidadari yang layak kau jaga sendiri.” Ah, tentu saja kalimat terakhir hanya terucap dalam batin.
“Maafkan aku, Aira.” Buru-buru aku menghadap Tian. Sosok pria ini sedang mengamati rasa terkejutku.
“Aku tidak bisa berharap banyak darimu tapi—“
“Hentikan! Kau memintaku agar kita tetap berteman, iya kan? Kau mencintainya tapi tetap egois ingin berteman denganku meski tahu menyukaimu!”

Tian mendengarkan tanpa sanggahan.
“Apa yang kau lihat darinya dan tak kumiliki, Tian? Apakah aku terlalu galak, bodoh, dan manja?”
“Justru itu membuatku merasa lebih lembut, pintar, dan penuh sayang.”

Aku mendengus. Seharusnya Tian paham bahwa ini bukan saatnya bercanda. Tapi jawabannya kuakui sedikit menggelitik. “Kau menyebalkan!”

Tawa lirih terdengar. Suara renyah biasa kudengar di sela-sela gurauan kami dulu. Ya Tuhan, betapa mengerikan jika kau ambil senyum itu dariku.
“Aku harap kau bahagia.” Aku menunduk namun ucapan tulus benar-benar kudoakan.

Tak ada tanggapan. Hanya desir angin sebagai pengiring jeda. Semakin menusuk hawa dingin membalut kami tanpa pakaian khusus camping. Ya, salahku karena hanya memakai jaket tipis. Dan gelagat Tian menahan gemerutuk giginya, membuatku menumpuk salah. 

Puk!

Aku tertahan dalam keadaan menunduk. Hangatnya telapak tangan Tian jatuh di kepalaku dengan lembut.

“Terimakasih, Aira. Aku tahu luka tidak bisa disembuhkan secepat cahaya kilat. Begitu tahu kau menyukaiku, aku merasa sangat melukaimu. Aku tidak ingin sahabatku menangis tetapi ketika aku sendiri yang menyakitinya, itu menjadi kesakitanku juga.”

Aku tidak menjawab. Hanya menggerakkan kepala mengiyakan.
“Semoga kau menemukan seseorang yang lebih mencintaimu.”
_o0o_

Aku membuka mata. Langit berwarna redup menjadi cakrawala bangun tidurku. Kuputar ingatan bahwa semalaman terjaga sampai mata tak kuat menahan kantuk. Jauh dari empuknya ranjang dan bantal tapi entah kenapa sandaran kepalaku semalam begitu nyaman. Kuamati sekeliling tampak sunyi. Bara bekas perapian terlihat sehingga tak terdengar lagi pecahan kayu dimakan api. Matapun turut menjelajah hutan, tempat kami bermalam mendadak.

Cahaya matahari malu-malu menampakkan diri. Hamparan warna kuningnya memecah begitu mengenai rimbunan pepohonan. Meluncur hangat melalui sela-sela daun dan tegaknya batang. Mendarat di tanah, langsung menghangatkan kaki-kakiku tak terbalut selimut.

“Oaahmm....” Ternyata berkemah minim fasilitas di hutan tidak menyurutkan rasa kantuk. Sepertinya sambil menunggu matahari agak tinggi, aku bisa mengambil kesempatan terpejam.

“Bangun...!” seru seseorang tiba-tiba. Samar, dia datang membawa segudang senyum.
“Mama?” Kukucek mata berkali-kali. Merasa aneh karena mendapatkan diri di kamar hunianku.
“Ayo cepat bangun! Hilman sudah menunggu dari tadi. Kalian tidak ingin melewatkan hari indah ini, kan?”

Mama sibuk menghempas-hempaskan selimut agar segera beranjak. Sedikit kupaksa agar badan menuruti kemauan mama. Namun aku tidak berjalan ke kamar mandi. Malah mencuri kesempatan keluar saat mama membuka jendela. 

Langkahku tertahan pada pembatas kayu. Sejenak kuintip sosok pria menunggu di bawah sambil membaca buku. Aku tersenyum. Dia bagian duniaku saat ini. Memang tidak mudah melupakan orang pertama yang mengenalkan cinta. Apalagi kenangan tiga tahun lalu masih hadir di mimpi membawa sosok dirinya. Yang kulakukan adalah menghargai setiap hal dalam hidup. Dia mengajari dan yang bisa membuka lembaran baru hidupku adalah diriku sendiri.
_____

Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #KalimatPertama dengan setting alam dari @KampusFiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar