Perapian dari
tumpukan ranting kecil terlihat megap-megap diserang alunan angin. Tangan Tian
berusaha melindungi, sementara aku menekan kekhawatiran jangan sampai padam
sebelum pagi menyapa. Dingin cukup mencekam tapi ini tak lebih buruk dari
situasi kami yang sedemikian beku. Sesekali aku mendongak. Kudapati wajah Tian tak
bergeming dari kebisuan.
Lamat, aku tercenung memperoleh temuan
baru. Duduk berhadapan, pencarian mataku tertuju pada raut sedihnya. Sengaja
kuturunkan beberapa derajat mengalihkan tatapan ke perapian. Dua jam lalu kami berteriak
saling menyerang kata dengan puncak kemenanganku. Huh, tidak! Mengenal Tian dua
puluh tahun tak pernah tertulis dalam kamusku menang darinya. Tian sosok cerdas.
Sejak SMP sering ikut olimpiade matematika dan lomba debat bahasa Inggris. Jika
saat itu terdiam tanpa membalas kalimatku, kupastikan dia hanya mengalah.
Perapian menyala stabil kembali. Tian
terlihat lebih santai dan mengubah posisi duduknya dengan melipat kedua kaki.
Bersila.
“Tidak perlu menunggu subuh, sebentar
lagi kita pulang.”
Bibir refleks kumanyunkan. Selesai
bicara, Tian menatapku tanpa berharap jawaban. Apakah dia ingin memulai
pertengkaran lagi?
“Aku sudah menghubungi mamamu tentang
keberadaanmu.”
“Tidak perlu repot-repot, mama sudah
tahu kalau aku pergi,” sahutku.
Tian menghela nafas. Dia menambah
beberapa ranting agar menyala lebih besar. “Tapi tidak akan menyangka kalau kau
tersesat. Bisa kau bayangkan betapa khawatirnya mamamu.”
“Oh, lalu setiba di rumah kau bilang
yang menemukanku? Berlagak seperti pahlawan?”
“Hentikan, Aira! Kau mau kaku
kedinginan?”
“Kenapa masih peduli padaku, hah? Tak
seharusnya kau ada di sini!”
“Kalau aku tidak cepat-cepat menyusulmu,
sampai sekarang kau ada di mana? Jangan membuat mamamu khawatir! Kau bukan anak
kecil lagi! Kau mau terus merepotkan? Kau harus bisa jaga diri karena aku tidak
bisa menjagamu terus, kan?!”
Lagi. Tian membentakku. Tapi nyeri itu
hadir ketika kalimatnya mengingatkan posisiku baginya. Tiapkali mendengar
suaranya memuncak, aku menyambut rindu kelembutannya sebelum bertemu wanita
itu. Aku bingung kenapa dia harus berubah. Dan aku semakin tidak mengerti kenapa
melihat kesedihan di wajahnya lagi. Bukankah seharusnya aku yang memasang raut
itu?
Aku terdiam lalu membelakangi Tian karena
ingin menyembunyikan airmata. “Mamaku... sangat mempercayaimu,” ucapku menatap pepohonan
yang sulit kukenali.
“Aku tahu.”
“Mama sangat yakin kalau kau akan
menjagaku dengan baik.” Ranting pohon menggoyangkan mahkotanya. Diterpa angin
dan mendadak pergi tanpa pamit. Kubayangkan Tian di belakangku sedang sibuk menjaga
perapian.
“Menurutmu itu terbukti?” tanya Tian.
“Sampai saat ini, ya. Tapi setelah
pernikahanmu maka ada bidadari yang layak kau jaga sendiri.” Ah, tentu saja
kalimat terakhir hanya terucap dalam batin.
“Maafkan aku, Aira.” Buru-buru aku
menghadap Tian. Sosok pria ini sedang mengamati rasa terkejutku.
“Aku tidak bisa berharap banyak darimu
tapi—“
“Hentikan! Kau memintaku agar kita
tetap berteman, iya kan? Kau mencintainya tapi tetap egois ingin berteman denganku
meski tahu menyukaimu!”
Tian mendengarkan tanpa sanggahan.
“Apa yang kau lihat darinya dan tak
kumiliki, Tian? Apakah aku terlalu galak, bodoh, dan manja?”
“Justru itu membuatku merasa lebih
lembut, pintar, dan penuh sayang.”
Aku mendengus. Seharusnya Tian paham
bahwa ini bukan saatnya bercanda. Tapi jawabannya kuakui sedikit menggelitik. “Kau
menyebalkan!”
Tawa lirih terdengar. Suara renyah biasa
kudengar di sela-sela gurauan kami dulu. Ya Tuhan, betapa mengerikan jika kau
ambil senyum itu dariku.
“Aku harap kau bahagia.” Aku menunduk
namun ucapan tulus benar-benar kudoakan.
Tak ada tanggapan. Hanya desir angin
sebagai pengiring jeda. Semakin menusuk hawa dingin membalut kami tanpa pakaian
khusus camping. Ya, salahku karena
hanya memakai jaket tipis. Dan gelagat Tian menahan gemerutuk giginya, membuatku
menumpuk salah.
Puk!
Aku tertahan dalam keadaan menunduk. Hangatnya
telapak tangan Tian jatuh di kepalaku dengan lembut.
“Terimakasih, Aira. Aku tahu luka
tidak bisa disembuhkan secepat cahaya kilat. Begitu tahu kau menyukaiku, aku
merasa sangat melukaimu. Aku tidak ingin sahabatku menangis tetapi ketika aku
sendiri yang menyakitinya, itu menjadi kesakitanku juga.”
Aku tidak menjawab. Hanya menggerakkan
kepala mengiyakan.
“Semoga kau menemukan seseorang yang
lebih mencintaimu.”
_o0o_
Aku membuka mata. Langit berwarna
redup menjadi cakrawala bangun tidurku. Kuputar ingatan bahwa semalaman terjaga
sampai mata tak kuat menahan kantuk. Jauh dari empuknya ranjang dan bantal tapi
entah kenapa sandaran kepalaku semalam begitu nyaman. Kuamati sekeliling tampak
sunyi. Bara bekas perapian terlihat sehingga tak terdengar lagi pecahan kayu
dimakan api. Matapun turut menjelajah hutan, tempat kami bermalam mendadak.
Cahaya matahari malu-malu menampakkan
diri. Hamparan warna kuningnya memecah begitu mengenai rimbunan pepohonan. Meluncur
hangat melalui sela-sela daun dan tegaknya batang. Mendarat di tanah, langsung
menghangatkan kaki-kakiku tak terbalut selimut.
“Oaahmm....” Ternyata berkemah minim
fasilitas di hutan tidak menyurutkan rasa kantuk. Sepertinya sambil menunggu
matahari agak tinggi, aku bisa mengambil kesempatan terpejam.
“Bangun...!” seru seseorang tiba-tiba.
Samar, dia datang membawa segudang senyum.
“Mama?” Kukucek mata berkali-kali.
Merasa aneh karena mendapatkan diri di kamar hunianku.
“Ayo cepat bangun! Hilman sudah
menunggu dari tadi. Kalian tidak ingin melewatkan hari indah ini, kan?”
Mama sibuk menghempas-hempaskan
selimut agar segera beranjak. Sedikit kupaksa agar badan menuruti kemauan mama.
Namun aku tidak berjalan ke kamar mandi. Malah mencuri kesempatan keluar saat
mama membuka jendela.
Langkahku tertahan pada pembatas kayu.
Sejenak kuintip sosok pria menunggu di bawah sambil membaca buku. Aku
tersenyum. Dia bagian duniaku saat ini. Memang tidak mudah melupakan orang
pertama yang mengenalkan cinta. Apalagi kenangan tiga tahun lalu masih hadir di
mimpi membawa sosok dirinya. Yang kulakukan adalah menghargai setiap hal dalam
hidup. Dia mengajari dan yang bisa membuka lembaran baru hidupku adalah diriku
sendiri.
_____
Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #KalimatPertama dengan setting alam dari @KampusFiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar