Selasa, 03 Juni 2014

Kebersamaan

Narasi



          Kuusap kening berpeluh tanpa bantuan selembar tisu.  Lelah bukan main mengikuti celotehan anak kecil yang berpijak cepat bagai kutu loncat. Jika tahu begini, sedari awal aku tidak mengiyakan menggantikan posisi mama untuk menemaninya. Rambut lantang durian, pipi bergelembung, dan deretan gigi seri tak lengkap, sudah mengobrak-abrik suasana ceriaku hari ini. 

          Dan sekarang, kaki mungilnya berhenti tepat di toko kue. Mata belonya seakan berbayang menikmati suguhan kue pelangi di etalase. Ayolah, jangan sampai ia memanggil sementara kedua tanganku menenteng sekotak martabak manis dan selusin donat. 

          Rian menoleh ke arahku yang cepat-cepat menatap sekelompok remaja bermain sepatu roda. Hanya sekadar pengalih, tetapi cukup menghibur atas kelihaian mereka berjungkit dan memutari barisan botol. Kuharap Rian ikut tertarik dengan apa yang kulihat. Lewat ekor mata, senyum meruntuhkan kuncian bibirnya. Aku terus berdoa.

          Wajahku spontan menunduk ke bawah ketika merasakan jemari tangan menarik bawaan. Tanpa basa-basi, suara merajuk ingin masuk. Dan saat itulah aku berharap ini mimpi dalam maya. 

          Telunjuk-telunjuk itu mengarahkan kue pesanan. Setelah mendapatkan keinginannya, Rian bersemangat mengajak pulang. Sepanjang perjalanan, ia menjadi radio gratis. Ya, tetaplah ia adik kecilku. Sekesal-kesalnya, aku tidak benar-benar membencinya. Keceriaannya menambah dunia keluarga kami berwarna. 

          Seperti saat ini, jemarinya begitu erat memegangku. Kupikir hanya takut menyeberang dan melepasnya begitu sampai di seberang jalan. Dengan ringan aku mengatainya superman kikuk. Namun bukan balasan cerca yang kudapat, melainkan bibir manyun menahan sedih. Ryan mendongak. Bersusah payah aku menata ulang karena ragu pendengaranku salah. 

          Makanan yang kami beli menjadi tatapanku. Sosok kecil di hadapan terus menghentak-hentak tangan agar permintaannya dikabulkan. Gemas. Kuberjongkok untuk menyamai tinggi Rian. Ya ampun, jahat sekali aku melupakannya karena sibuk dengan teman-temanku. Tak pernah berpikir jika adik kecilku yang usil dan manja ini ingin diperhatikan olehku. Ah, tiba-tiba muncul segudang rencana untuk mengajaknya bermain. Lelah pasti akan kualami, tetapi kebersamaan seperti ini adalah hal yang berharga.
____

Dialog
   


“Ya ampun, bisa tidak diam sebentar? Sudah berapa banyak tempat kita masuki hanya untuk menurutimu?” Kuserbu Rian dengan kekesalan. Sosoknya yang setengah kali badanku hanya meringis tanpa salah.
“Ayo, ikut aku, Kak!” Bukan memberi sedikit prihatin, Rian malah menarik-narik tanganku untuk melanjutkan perjalanan.
“Wah... kue pelanginya....” 
Aku mengangkat alis. Sudah paham sifatnya yang langsung terpesona karena melihat kue pelangi di etalase toko.
“Jangan sampai mengajak masuk...,” gumamku lirih. Mataku turut tertegun karena bingung dengan makanan kutenteng. Ada martabak manis dan donat kesukaannya.
“Kakak—“
Suaranya mengalun dan aku segera mengalihkan tatapan pada sekelompok remaja bermain sepatu roda. Mereka berjungkit dengan memutari barisan botol dengan lihai. Kuharap, Rian pun tertarik melihatnya.
“Kakak malah diam!” Tahu-tahu ada tangan menarik bawaan.
Aku menghela nafas. Rian melancarkan mata sayu untuk melunakkan hati. “Makanan ini saja belum dimakan.” Kuangkat bawaan agar ia sadar dengan hasil keliaran kami.
“Tapi aku suka kue pelangi. Ayo....” Nyatanya aku tak sanggup mempertahankan pijakan diam di tempat.
“Yang ini, ini, dan ini, Kak!” Rian menunjuk-nunjuk beberapa macam kue pelangi. Setidaknya aku tidak khawatir karena mama memberi uang lebih.
“Lalala... lalala... aku senang sekali... doraemon....” Berkali-kali Rian melantunkan lirik yang sama. Kulirik wajah cerianya begitu teduh.
“Hei! Superman kikuk dari tadi masih memegang tangan. Kita sudah tidak menyeberang loh. Biasanya cepat-cepat melepas jika sudah menyeberang.” Rian tidak membalas meski kulontarkan ejekan.
“Kamu kenapa?” Aku sedikit terkejut karena mendapatkan wajah sendunya.
“Kakak... Sebenarnya aku kangen. Selama ini kakak selalu pergi dengan teman-teman padahal aku juga ingin bermain bersama.”
“Eh?”
“Aku sengaja membeli makanan banyak agar nanti bisa dimakan berdua oleh kita. Jadi kakak tidak pergi dengan teman-teman hari ini... Bisa tidak, Kak?”
“Rian?”
“Kakak jangan pergi ya, temani aku....”
Kuberjongkok untuk menyamai tingginya. “Maaf ya, kakak sibuk sendiri. Kakak janji, hari ini kita akan bergembira sampai lelah.”

_____

Cerpen ini diikutkan dalam tantang menulis #NarasiVSDialog dari @KampusFiksi




         
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar