Minggu, 08 Juni 2014

Mentari itu Hilang



Gelas bergetar seiring gerakan tangan wanita mendekatkan ke arah bibir. Baru setengah perjalanan, gelas tak bergeming di dalam genggaman mendentangkan irama mengejutkan. Pecah. Menyebarkan potongan bening tajam ke segala arah. Lantai sebelumnya bersih kini dikotori cairan gelap tak lagi diharapkan. Bisa-bisa tertambah cairan merah jika diinjak sembarang oleh kaki liar. 

Pintu terbuka. Sepasang mata awas melihat wanita paruh baya.
“Dasar tidak berguna!” Sebuah teriakan terdengar. Badan rapuh kemudian memilih menyatukan diri ke ranjang. 

Mulut terkunci rapat. Tak ada guna mengeluarkan sumpah serapah memanaskan telinga. Meski terbiasa tapi kali ini ia enggan mengeluarkan. Tanpa berpalingpun ia tahu jika anak perempuannya sedang berjongkok memunguti pecahan gelas tanpa perlindungan tangan.

“Pergilah!” sentak sang ibu.
Tangan-tangan tetap bergerak sementara gendang telinga dibiasakan sekokoh benteng. Sapu yang dibawa segera digunakan membersihkan sisa pecahan gelas. Sengaja, telapak-telapak kaki disentuhkan untuk memastikan lantai aman saat dilewati. 

Langit-langit kamar menjadi pusat perhatian sang ibu. Telinganya mendengar suara pintu berdecit. Mau tak mau ia menoleh hingga terlihat baki berada di atas meja.
“Ibu, minumlah.” Mata itu melirik sinis ketika dibawakan minuman baru.
“Sudah sana! Aku bisa sendiri!” Lagi-lagi teriakan memenuhi relung hati sang anak.

Menunggu beberapa lama hingga tak ada komentar, maka langkah kaki mulai meninggalkan kamar.

“Hei! Lanting!”
Spontan, tubuh berbalik. Ah, nama yang seharian ini tidak disebutkan memberi kelegaan pada seseorang bernama Lanting. Setidaknya ia merasa diingat. Lanting berdiri di dekat pintu menikmati masa itu. Telah bertahun-tahun ia mendiami rumah sederhana bersama keluarga kecilnya. Berempat di waktu petang, mereka berkumpul di depan televisi kecil sambil bercakap. Lanting terkadang disibukkan menemani Arung belajar, saudara tirinya yang masih TK. Dan sosok ibu tirinya memijat punggung sang ayah setiap pulang kerja. 

Senyum itu ditorehkan. Ayah dan ibunya selalu menepis kekhawatiran pada mereka tanpa membedakan kasih sayang. Lanting bahagia meski rumahnya tak seluas milik tetangga sebelah. Lanting bahagia biarpun disuguhi lauk sederhana sambal terasi dan sayuran rebus. Ia bahagia karena kehangatan keluarganya. 

Namun kenyataan yang dirasakan telah menguap. Tak ada lagi sosok ayah dan Arung di rumah. Ketiadaan mereka juga diiringi sambutan dingin ibunya. Tak ada lagi belaian sayang sebagai pengantar tidur, perhatian, atau nasihat penuh kelembutan di sela-sela istirahat. Senyum ibunya telah hilang semenjak kejadian itu. Hanya tatapan marah, bentakan keras, dan teriakan tak berujung mewarnai hidupnya. Perubahan sampai sekarang memuncakkan kehampaan di sanubari.

“Heh!”
Bola mata Lanting mengerjap, perasaan bersalah menggelayuti karena membiarkan sang ibu menunggu respon darinya.
Dengan langkah gesit, Lanting menghampiri. “Ya, Bu.”
“Kenapa, kenapa kalian jahat?” Suara pelan namun membekukan tubuh Lanting.
“Aku sayang ibu.”
“Cih, kalian, ayah dan anak sama saja!” Ibunya pelan-pelan bangun. Lanting berusaha memegangi.
“MINGGIR!” Dorongan ibunya menyentakkan tubuh Lanting hingga menabrak pinggiran meja.
“Ibu....” Tergopoh-gopoh, wanita di hadapan Lanting memasang wajah garang.
“Jangan panggil aku ibu! Aku bukan ibumu! Aku tidak punya anak seorang pembunuh! Kau dan ayahmu! Sssh, Ayahmu—” Mulut gemetar tak sanggup melanjutkan. Pemandangan itu makin diperburuk karena tangan memegang sebilah pisau.
“Ibu!” Lanting makin terdesak. Punggung terhimpit lemari sementara pisau mendekati leher. Melihat ibunya kalap, Lanting tak berbuat apapun. Bisa saja ia menjauhkan diri dengan mendorong tubuh ringkih itu. Tapi tangannya sengaja ditahan sekuat tenaga.

“Jika bukan karena ayahmu, Arung masih hidup! Ia telah membunuh anakku! Aku tidak terima jika pembunuh busuk itu hanya dihukum 2 tahun. Nyawa anakku tidak semurah itu!” Pisau ditekan di permukaan kulit leher. Lanting meringis karena koyakan tipis dirasakannya.
“Ayah sangat menyayangi Arung, Bu. Arung meninggal karena kecelakaan. A—“
“DIAM! Ia membunuh anakku! Jika ia tidak mengajak pergi, Arung masih di sini! Anakku masih tertawa-tawa dan melompat kegirangan, bukan terbungkus kafan di tanah dingin!”

Lanting terdiam. Ia mencoba meraih tangkai pisau, menutupi tangan ibunya sedang melesakkan tenaga di leher. “Kalau mau, Ibu bisa melakukannya. Ibu boleh membunuhku.”
“Ya, ya! Anakku mati dan kau harus mati!”
“Ibu—“
“Rrrgh!” Mata senanar api benar-benar memadamkan kasih sayang itu. Terjerumus dalam lingkaran menyesatkan dan mungkin ia kesulitan keluar untuk menyesali diri.
“Aku... sayang ibu....”
“Mati kau!”
Lanting membuka mulut dengan terengah-engah. Nafasnya tercekat dan ia merasa kebas untuk merasakan dinginnya aliran menuruni leher. Tatapannya hanya menemukan siluet hitam bengis. Ia tahu, nyawanya dalam jarak beberapa senti di ujung tangan orang terkasih.
“Ibu. Ibu. Ibu.” Tangan Lanting meremas seolah memberi kerelaan. “A-ku se-lalu sa-yang Ibu....”
         
___
         
Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #DioramaKematian dari @KampusFiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar