Rabu, 16 April 2014

Giok Tua



Cheng berjalan tertatih ingin mendekati rak kayu yang sudah dimakan waktu. Mata yang tak lagi awas hanya bisa dibantu oleh gapaian asal. Sebentar mencari, jemari telah menyentuh tabung kaca yang membawa kilau karena sesuatu di dalamnya. Sulit menerka-nerka bagaimana benda itu ada di sana dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan luang mulut tabungnya. Hanya senyum yang menari-nari ingin membebaskan ingatan yang beberapa puluh tahun dibelenggu uban. Dibawanya tabung menuju sofa merah marun hadiah sang putra yang saat ini berlenggang kesuksesan.
            “Kau merindukannya?” tegur wanita dari belakang. Ia menyusul duduk di samping.
            “Ah, ya. Tapi aku lebih merindukanmu.”
            “Ya ampun, sudah setua ini kau masih saja mengumbar rayuan.”
            “Dan kau selalu menyukainya.”
            Wanita itu mendengus namun menahan tawa. “Kenapa, Cheng? Kau tidak berniat memecahnya, kan?” tanyanya melihat pria tua yang menghabiskan separuh waktu bersamanya.
            “Bagaimana aku melakukannya, sementara ini adalah cara aku mendapatkanmu hingga sampai saat ini hanya kau satu-satunya wanitaku.”
            Sungging senyum dihadiahkan. Benda berkilau masih menyandang predikat sebagai giok ajaib mereka. Terlindung di dalam tabung kaca seperti kesetiaan keduanya.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Tak Bisa Melupakan

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku



           Kenapa hujan tidak mau berhenti? Payung lebar tak kuasa melindungiku dari guyuran gratis sore ini. Tubuh dibuat bergidik akibat terowongan cacat pada lapisan kain bulat di berbagai area, menetes basah mengena kulit. Aku tertawa bukan karena payungku rusak. Tawa pahit ini semakin menyiksa melihat kebodohanku sendiri. Lebih-lebih pada satu hal yang menciutkan senyumanku saat dilepasnya.
            “Kenapa harus begitu?”
            “Aku tidak ingin membahasnya lagi. Sudahlah, kita jalan masing-masing.” Tangan meraih lengan namun berhasil disibak.
            “Aku menyayangimu, aku—“
            “Semua sudah berakhir. Selamat tinggal.”
            Kakiku masih berdiri menahan ngilu. Bukan karena lelah, semua terasa pedih saat aku memandangnya bergandengan mesra dengan sosok gadis yang tak kukenali. Tak pernah ia tersenyum seriang itu.Seandainya ia tahu tak sekalipun aku berniat melupakannya.
 

Senin, 14 April 2014

Surat Rahasia Russell

Cerpen ini dibuat berdasarkan tantangan menulis dalam #karakterjahat dari @KampusFiksi



              Sepatu saling berderap menyisakan jejak-jejak bercampur tanah basah mendekati sosok bersimpuh dalam ikatan. Guyuran hujan sejak semalam tidak menepis rasa dingin menyerang raganya yang mulai tampak membengkak. Wajah itu hampir tak bisa kukenali karena luka memar pada area pelipis dan sobekan di sudut bibir. Meski bekas cairan pekat agak kehitaman menutupi sebagian mata, tapi aku bisa melihat ia memicing ke arahku. Desis mulut mengobarkan amukan terpendam membuatku paham ada keinginan melontarkan umpatan. Aku menggeram kesal, tubuh tuanya tetap berkalang besi meskipun siksaan para bawahanku menggerogotinya semalam suntuk. Sialan! Tanganku mengepal bersembunyi di balik saku. Tak ingin anak buah melihat kegagalan rencanaku maka kupasang wajah sedatar mungkin seolah tak terjadi apapun. Sayangnya, pria tua ini menyadari hingga berlanjut pada tarikan di kedua sudut bibir yang melebar.
                   “Hahahaha...!” Ia menertawakanku dengan suara parau.
                Kaki kutekuk berjongkok di depannya. Bukan seorang Russell jika tak bisa membekap diam dengan manuver rencana lain. Sementara menunggu ia berhenti tertawa, otakku berkelebat cepat. “Sudah puas, Pak Tua? Hebat sekali kau bisa menahan siksaan. Seharusnya kau tak perlu mengorbankan diri hanya untuk melindungi sesuatu yang bukan milikmu. Cukuplah menjawab apa yang ingin kuketahui dan kau terbebas dari tempat mengerikan ini.”
                Tuan Hansen yang kupanggil pak tua hanya terdiam. Nafasnya sedikit terengah-engah akibat perih luka atau tawa keras yang dikeluarkan barusan. “Cih!” Jawaban semburan ludah memaksaku bangkit.
             “Baiklah, sepertinya kau tidak bisa diajak kerjasama. Sebenarnya ada satu cara agar kau buka mulut dan aku yakin kau tidak bisa mengelaknya.” Kusunggingkan senyum padanya. Tuan Hansen menatap lekat-lekat tanpa ekspresi.
             “Kau sudah tahu brankas penyimpananku. Aku tak peduli kau mengambil semuanya!” Perkataannya serta-merta membuatku melepas tawa.
          “Tidak, tidak! Aku tidak butuh uangmu! Kau sudah memberi lebih dari cukup sejak aku bekerja padamu. Surat itu lebih berharga dari apapun bahkan nyawaku sendiri. Kau sangat mengenalku, Pak Tua, jadi kau tahu langkah terburuk apa yang akan kuambil.”
            “Pengkhianat picik sepertimu sudah pasti akan terus menyiksaku sampai mati.”
            Aku menggeleng membuktikan perkataannya salah. Dengan santai, aku mengeluarkan kalung warna hijau yang kudapatkan ketika Tuan Hansen dibawa paksa.
            “Kau—“
            “Ini benda berharga sama seperti pemilik yang kau sayangi. Bukan begitu, Pak Tua?”potongku.
            “Kau... Kau tidak akan bisa melakukannya, Russell! Kau pun menyayanginya! Ia tunanganmu!“
            Aku berdecih, sebagian membenarkan ingatan bahwa Alea tunanganku dan Tuan Hansen calon mertuaku. Mereka orang-orang yang kukelabui semata-mata demi tujuan rahasia. Sebenarnya aku jijik membiarkan cincin pertunangan masih melekat sempurna di jari. Benda ini mati-matian kudapatkan hanya untuk mengambil hati dan kepercayaan mereka.
            “Jadi... bagaimana? Nyawa putrimu ada di tanganmu.”
            “Awas kau! Seujung kuku kau sentuh putriku, aku akan—“
            “Akan apa? Kau tidak bisa berbuat apapun bahkan untuk dirimu sendiri! Katakan saja apa yang kau ketahui, Tuan Hansen!” Kali ini kutegaskan panggilan yang dulu kuucapkan setiap menyapa sopan padanya. Kuamati matanya terpejam seolah berpikir keputusan terberat yang akan diambil selama hidupnya. Puas, aku berhasil mengacak-acak kehidupannya seperti peliharaan yang patuh  pada sang majikan.
            Jeda beberapa menit, suara terucap dari bibir keringnya. “Di balik patung liberty meja kantor ada tombol merah yang menghubungkan dengan ruang rahasia. Apa yang kau inginkan ada di sana.”
            “Kau menyimpan surat itu di kantor?” tanyaku tak percaya. Tuan Hansen hanya diam tanpa niat menjawab pertanyaan. Kutatap salah satu anak buahku dan memberikan isyarat. Ia segera menelepon menyuruh anggota lain memeriksa kantor Tuan Hansen. Terasa lama sekali aku menunggu kabar. Dengan tidak sabar aku memainkan cincin yang sedari awal ingin kusingkirkan setelah semua beres. Hingga akhirnya suara telepon mengalihkan tatapanku yang menerima anggukan dari anak buah.
            “Bagus sekali! Terimakasih, Pak Tua, berkatmu aku bisa mendapatkan surat itu. Ah, tidak! Sepertinya aku pun akan berterimakasih pada Alea! Kalian sepasang ayah dan anak yang kompak.”
            Tuan Hansen yang menangkap gelagatku langsung berteriak, “Kau sudah berjanji, Russell! Apa yang kau lakukan, hah?!”
            “Tenanglah, aku tidak akan membunuhnya. Tapi sebagai tunangan, tak ada salahnya sedikit bersenang-senang dengan putri cantikmu itu. Sampai jumpa, Tuan Hansen. Sampai ketemu di akhirat nanti, hahaha!” Aku berbalik tanpa peduli dengan teriakan pria tua sepertinya. Kuserahkan semuanya pada anak buah yang haus permainan gratis dariku.
_o0o_
            Pintu berbahan kayu dengan polesan cat warna merah bata kini terbuka menampakkan seorang gadis cantik berparas sendu. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Berhari-hari tidak menjumpai keberadaan sang ayah membuatnya pilu hingga pucat menutupi rona pipi. Tapi melihat kedatanganku, raut itu berubah sedikit ceria. Alea langsung berhambur ke dadaku seraya memeluk erat. Reaksi yang selalu diperlihatkan tiap kali kami bertemu.
            “Russell, aku merindukanmu.”
            Aku pura-pura bersikap hangat, kuelus punggung ringkihnya sambil menghibur, “Kupikir kau akan terus larut dalam duniamu sendiri tanpa mempedulikanku.”
            Alea mendongak. Kami bertemu mata. “Maafkan aku, Russell. Aku terlalu sedih memikirkan ayah. Aku tidak bermaksud mengacuhkanmu selama ini.”
            Tubuh Alea mundur pelan karena aku melepas pelukannya, “Mungkin karena kau tidak mencintaiku.”
            “Kenapa tiba-tiba bicara begitu? Aku sangat mencintaimu.”
            Aku menatap sepasang mata hijau yang kupastikan beberapa saat lalu menghabiskan waktu dengan menangis. Sepertinya sebentar lagi aku akan membuat kristal bening itu terjatuh kembali, “Aku membantu mencari ayahmu dan itu menyita banyak waktu kebersamaan kita. Mungkin kau tidak menyadarinya, Alea, tapi aku makin tersisih karena saat bertemu, kau hanya membicarakan ayahmu tanpa sedikitpun perhatian padaku.”
            “Maaf, maafkan aku, Russell. Kau dan ayah adalah orang yang sangat kusayangi. Aku tidak pernah berpisah selama ini dengan ayahku apalagi tanpa tahu keberadaannya.”
            Kuusap sudut bibirnya membuat Alea memejamkan mata, “Apa kau juga akan mengalami hal yang sama jika aku pergi?” Kusodorkan pertanyaan padanya.
            “Russell?” Alea membuka mata terkejut.
            “Sudahlah, aku hanya ingin mengetahui keadaanmu. Selamat—“ Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, pelukan Alea menghalangiku pergi. Ada hawa dingin di kemeja akibat tangis Alea. Aku terdiam namun menyimpan kemenangan.
            “Jangan pergi. Tetaplah di sini.” Tarikan tangan Alea menutup pintu. Saling memandang hingga pelan-pelan wajah kami mulai menghilangkan jarak. Inilah gadis polosku yang sangat mencintaiku. Gadis bodoh yang sangat percaya bahwa aku mencintainya dengan tulus.
            Samar, terdengar kicau burung mengusik istirahat. Mata kupaksa terbuka dan terus mengamati keadaan luar yang hanya bisa dilihat sebagian. Nafas halus mengalihkan tatapanku pada punggung milik seseorang yang tidur di sebelah. Sesekali namaku disebut dalam tidur nyenyaknya. Dengan hati-hati aku bangkit dari ranjang lalu mengenakan pakaian. Sebelum meninggalkan kamar, aku sejenak menatap wajah Alea yang tidak kusangkal sangat cantik tanpa riasan. Rambutnya tergerai acak menimbulkan sensasi tersendiri akibat kilatan peluh pada beberapa helai. Inilah saatnya aku terbebas dari belenggu meski ada bagian menyenangkan yang ia berikan padaku. Kenang-kenangan darinya begitu manis. Berlawanan dengan apa yang kuberikan setelah terbangun tanpa diriku untuk selamanya. Selamat tinggal, Alea, wanitaku.

Sabtu, 05 April 2014

Ujung Harapan

Cerita ini sebagai bentuk keikusertaan Tantangan Menulis dari @KampusFiksi dalam #DeskripsiSetting






POV Tokoh Pertama
                Leganya, aku bisa mendudukkan pantat ke bangku berwarna biru setelah setengah jam mencari tempat tujuanku. Halte ini mungkin buruk bagi sebagian orang. Meski atap sedikit berlubang, setidaknya melindungi dari sengatan sang surya yang membuat badanku mulai berkeringat. Kulihat banyak coretan di sana-sini dengan umpatan tak layak baca. Bukan hanya kreasi semprotan kimia tercetak jelas di dinding namun bekas goresan dari benda tajam ikut meramaikan pesta bermain kata. Permukaan cat pun ada yang hilang menampakkan kulit asli penuh karat. Uh, kenapa fasilitas umum seperti ini tidak segera direnovasi? Pelajar sepertiku mungkin awam tentang anggaran pemerintah tapi setahuku masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang baik. Mereka membayar pajak, kan? Apa selama ini pejabat pemerintah hanya duduk-duduk di belakang meja dengan selembar koran dan hisapan puntung rokok?
            Aku menarik nafas pendek mencoba mengendalikan diri agar tak ambil pusing. Sesekali tatapanku mengarah pada kendaraan yang berlalu lalang tanpa ada satupun bis jurusanku. Di mana mereka? Jangan-jangan jalanan ini sudah tidak berlaku sebagai jalur transportasi umum. Aku baru pertama kali naik bis setelah tiga hari lalu berganti status menjadi warga Wonosari. Ah, kegusaranku bertambah akibat jarum jam telah menunjuk angka satu. Semakin diperparah pula dengan lengkingan isi perut bersiap marah. Ini benar-benar siksaan! Dug! Suara mengagetkanku. Dari kejauhan kudapati seorang ibu muda berjongkok memunguti barang-barangnya. Sebelum kakiku beranjak, ia lebih dulu selesai merapikan dan mulai berjalan lunglai ke arahku. Penglihatanku ingin memastikan keadaannya, tapi karena silau cahaya maka kuurungkan niat untuk melototi. Biarlah aku tunggu dan akan kutanyakan sesuatu padanya nanti.

            POV Tokoh Kedua
            Ya Tuhan, semoga oleh-oleh untuk anak-anak tidak retak karena kecerobohanku menjatuhkannya di trotoar. Bungkusan kardus tebalnya kuharap bisa melindungi tanpa cela dari keretakan. Sebulan ini aku menyisakan uang ingin membelikan celengan impian mereka dan baru hari ini bisa meredam rengekan itu. Kakiku sudah terasa kebas jika harus kembali menukar ke toko dengan perut sebesar ini. Hingga kuputuskan menuju halte yang berjarak beberapa meter di depan untuk duduk.
            Rupanya ada seorang pelajar di sini. Wajahnya bersih belum kena polusi kosmetik. Rambut tergerai bebas seleher menambah kepolosannya. Yang kusuka adalah binar matanya tampak malu-malu meski ada rasa ingin tahu untuk diungkapkan. Baru sadar, ia sejak tadi memandangi bahkan sampai aku duduk. Terlihat mulutnya terbuka. Kupikir akan mengucapkan sesuatu namun bibirnya mengatup kembali. Aku pun mencari kesibukan sendiri.
            Panas, atap halte tidak cukup melindungi kami. Beberapa bagian atasnya hilang hampir beratapkan langit. Halte rusak ini sudah lama tidak dipakai semenjak bis umum pindah jalur melewati jalan kota. Memangnya siapa yang betah duduk di sini kecuali sekadar istirahat sejenak? Tak ada indah-indahnya pemandangan yang bisa kuambil. Tulisan-tulisan mengerikan lebih menyerupai cat pengganti. Bagi seorang ibu sepertiku, sangat takut jika anak-anak membaca dan merekam kuat di memori otak mereka. Tak pantas anak-anak mengenal istilah dewasa disertai gambar di pojokan atas itu. Benar-benar keterlaluan! Terselip gelap di sana menyuguhkan coretan berbau mesum. Semoga gelagatku tidak menyentuh rasa penasaran pelajar di dekatku. Cukuplah ia duduk tenang sambil menikmati deru mesin kendaraan pribadi. 

            POV Tokoh Ketiga
            Punggung rasanya seperti dihantam batu, kaku dan nyeri susah digerakkan. Aku baru mendapat uang sepuluh ribu dan badan sudah minta jatah istirahat. Sekarang malah ban becak bocor dan terpaksa kutuntun agar menepi dekat trotoar. Kupandangi sejenak becak tuaku hasil menjual pohon jati sembilan sebelas tahun lalu. Sebelum menjauh pergi untuk berteduh, kuganjal ban dengan batu bata yang kupungut dari selokan.
           Kemunculanku sepertinya mengagetkan kedua orang di halte karena tiba-tiba menoleh. Penampilanku tidak serapi mereka. Kaos kumal dan celana pendek hanyalah lungsuran tetangga. Aku tidak peduli jika benak mereka menganggapku seperti pemulung atau pengemis. Nyatanya tak sejalan dengan pikiran, karena pelajar ini mengangguk pelan ke arahku. Anak yang sopan, pikirku. Melihat seragam sekolahnya mengingatkan sosok anakku sendiri. Ia pasti sedang sibuk membungkusi pepes jamur yang sore nanti dijual ke pasar. Ah, maafkan bapakmu ini yang tidak bisa membiayaimu melanjutkan sekolah. Bapak juga minta maaf karena hari ini belum bisa menyanggupi membelikan jilbab seperti yang kau inginkan.
          Kembali aku mengalihkan tatapan ke arah bangku kosong. Satu-satunya dalam kondisi baik hanya bangku di antara mereka, maka segera saja aku memilihnya. Seorang ibu muda tampak sibuk melihat-lihat isi dompet. Sebenarnya, perbuatan itu dapat memancing orang berniat jahat. Tapi keinginanku mengingatkan terhalang oleh wajah pucatnya seperti menahan sesuatu. Mungkin ada uangnya yang hilang. Di mana suaminya? Ibu hamil dengan perut besar sekitar enam bulan, membuatku miris. Apalagi membawa barang-barang keperluan rumah tangga yang cukup berat. Sampai setua ini, bahkan aku tak pernah membebani istriku sedemikian.
            Ia mengambil selembar uang ratusan ribu ditambah lima ribuan yang tak lebih dari empat lembar. Mungkin dugaanku benar, wanita itu menunduk makin rendah dengan tarikan nafas berat. Ia menyebut nama Tuhan dan terdiam.
            “Ada apa, Bu?” tanyaku.
            Wanita itu menoleh dan menatapku ragu. Pandangan terhadap orang asing bisa kutangkap darinya. “Oh, tidak apa-apa, Pak.” Tangannya memasukkan dompet merahnya ke dalam tas.
            Aku menghentikan rasa penasaran lalu mencoba menyandarkan punggung dan membayangkan uang yang kudapat tadi. Sekilas aku mengawang-awang ke atas, lubang atapnya langsung menghubungkanku dengan langit. Dari sini benakku berputar cepat teringat dengan genting dapur yang bocor. Istriku sudah mewanti-wanti agar segera memperbaikinya. Ia beberapa kali memindah tungku dan perabotan sederhana agar terhindar dari tetesan hujan yang kerapkali datang di malam hari. Mataku terpejam, dalam hati aku berdoa bisa mengumpulkan uang lebih banyak hari ini. Namun sebelum menambalkan ban, sejenak saja biarkan aku dihibur dengan bayangan senyum istri dan anak-anakku.
______