Senin, 16 Juni 2014

Bunga



          Cantik dan menawan adalah kalimat indah yang pantas diberikan untukmu. Aku ikut terluka saat kau dilewati angkuh dan ada yang menarikmu hingga terbujur dan gugur. Terseok perih namun tetap kau uluri warna, membuatku berhenti meratapi.
          Sampai kapan kau mau diperlakukan seperti itu? Mengapa kau tetap bertahan dan tegar meski tak ada yang mengerti dan menghargaimu? Kau dilewati banyaknya jejak dan dihempas angin membuatmu kokoh dan makin mempesona. Kau tahu, tanpa disadari keanggunanmu telah memanggilku. Saat itulah kuanggap kau sebagai bungaku.
          Sekarang aku melihatmu. Dan aku tidak ingin menjadi saksi bisu kau dihakimi dan dianiaya tanpa henti. Akan kurangkai warna-warnamu di tempat aman dan terlindungi. Aku yakin, di sanalah kau ditakdirkan berdiam dengan tenang dan nyaman tanpa hiruk-pikuk yang membuatmu goncang dan menghilang lagi.

#FiksiLaguku untuk @KampusFiksi terinspirasi dari lagu Bunga di Tepi Jalan - Koes Plus

Minggu, 08 Juni 2014

Mentari itu Hilang



Gelas bergetar seiring gerakan tangan wanita mendekatkan ke arah bibir. Baru setengah perjalanan, gelas tak bergeming di dalam genggaman mendentangkan irama mengejutkan. Pecah. Menyebarkan potongan bening tajam ke segala arah. Lantai sebelumnya bersih kini dikotori cairan gelap tak lagi diharapkan. Bisa-bisa tertambah cairan merah jika diinjak sembarang oleh kaki liar. 

Pintu terbuka. Sepasang mata awas melihat wanita paruh baya.
“Dasar tidak berguna!” Sebuah teriakan terdengar. Badan rapuh kemudian memilih menyatukan diri ke ranjang. 

Mulut terkunci rapat. Tak ada guna mengeluarkan sumpah serapah memanaskan telinga. Meski terbiasa tapi kali ini ia enggan mengeluarkan. Tanpa berpalingpun ia tahu jika anak perempuannya sedang berjongkok memunguti pecahan gelas tanpa perlindungan tangan.

“Pergilah!” sentak sang ibu.
Tangan-tangan tetap bergerak sementara gendang telinga dibiasakan sekokoh benteng. Sapu yang dibawa segera digunakan membersihkan sisa pecahan gelas. Sengaja, telapak-telapak kaki disentuhkan untuk memastikan lantai aman saat dilewati. 

Langit-langit kamar menjadi pusat perhatian sang ibu. Telinganya mendengar suara pintu berdecit. Mau tak mau ia menoleh hingga terlihat baki berada di atas meja.
“Ibu, minumlah.” Mata itu melirik sinis ketika dibawakan minuman baru.
“Sudah sana! Aku bisa sendiri!” Lagi-lagi teriakan memenuhi relung hati sang anak.

Menunggu beberapa lama hingga tak ada komentar, maka langkah kaki mulai meninggalkan kamar.

“Hei! Lanting!”
Spontan, tubuh berbalik. Ah, nama yang seharian ini tidak disebutkan memberi kelegaan pada seseorang bernama Lanting. Setidaknya ia merasa diingat. Lanting berdiri di dekat pintu menikmati masa itu. Telah bertahun-tahun ia mendiami rumah sederhana bersama keluarga kecilnya. Berempat di waktu petang, mereka berkumpul di depan televisi kecil sambil bercakap. Lanting terkadang disibukkan menemani Arung belajar, saudara tirinya yang masih TK. Dan sosok ibu tirinya memijat punggung sang ayah setiap pulang kerja. 

Senyum itu ditorehkan. Ayah dan ibunya selalu menepis kekhawatiran pada mereka tanpa membedakan kasih sayang. Lanting bahagia meski rumahnya tak seluas milik tetangga sebelah. Lanting bahagia biarpun disuguhi lauk sederhana sambal terasi dan sayuran rebus. Ia bahagia karena kehangatan keluarganya. 

Namun kenyataan yang dirasakan telah menguap. Tak ada lagi sosok ayah dan Arung di rumah. Ketiadaan mereka juga diiringi sambutan dingin ibunya. Tak ada lagi belaian sayang sebagai pengantar tidur, perhatian, atau nasihat penuh kelembutan di sela-sela istirahat. Senyum ibunya telah hilang semenjak kejadian itu. Hanya tatapan marah, bentakan keras, dan teriakan tak berujung mewarnai hidupnya. Perubahan sampai sekarang memuncakkan kehampaan di sanubari.

“Heh!”
Bola mata Lanting mengerjap, perasaan bersalah menggelayuti karena membiarkan sang ibu menunggu respon darinya.
Dengan langkah gesit, Lanting menghampiri. “Ya, Bu.”
“Kenapa, kenapa kalian jahat?” Suara pelan namun membekukan tubuh Lanting.
“Aku sayang ibu.”
“Cih, kalian, ayah dan anak sama saja!” Ibunya pelan-pelan bangun. Lanting berusaha memegangi.
“MINGGIR!” Dorongan ibunya menyentakkan tubuh Lanting hingga menabrak pinggiran meja.
“Ibu....” Tergopoh-gopoh, wanita di hadapan Lanting memasang wajah garang.
“Jangan panggil aku ibu! Aku bukan ibumu! Aku tidak punya anak seorang pembunuh! Kau dan ayahmu! Sssh, Ayahmu—” Mulut gemetar tak sanggup melanjutkan. Pemandangan itu makin diperburuk karena tangan memegang sebilah pisau.
“Ibu!” Lanting makin terdesak. Punggung terhimpit lemari sementara pisau mendekati leher. Melihat ibunya kalap, Lanting tak berbuat apapun. Bisa saja ia menjauhkan diri dengan mendorong tubuh ringkih itu. Tapi tangannya sengaja ditahan sekuat tenaga.

“Jika bukan karena ayahmu, Arung masih hidup! Ia telah membunuh anakku! Aku tidak terima jika pembunuh busuk itu hanya dihukum 2 tahun. Nyawa anakku tidak semurah itu!” Pisau ditekan di permukaan kulit leher. Lanting meringis karena koyakan tipis dirasakannya.
“Ayah sangat menyayangi Arung, Bu. Arung meninggal karena kecelakaan. A—“
“DIAM! Ia membunuh anakku! Jika ia tidak mengajak pergi, Arung masih di sini! Anakku masih tertawa-tawa dan melompat kegirangan, bukan terbungkus kafan di tanah dingin!”

Lanting terdiam. Ia mencoba meraih tangkai pisau, menutupi tangan ibunya sedang melesakkan tenaga di leher. “Kalau mau, Ibu bisa melakukannya. Ibu boleh membunuhku.”
“Ya, ya! Anakku mati dan kau harus mati!”
“Ibu—“
“Rrrgh!” Mata senanar api benar-benar memadamkan kasih sayang itu. Terjerumus dalam lingkaran menyesatkan dan mungkin ia kesulitan keluar untuk menyesali diri.
“Aku... sayang ibu....”
“Mati kau!”
Lanting membuka mulut dengan terengah-engah. Nafasnya tercekat dan ia merasa kebas untuk merasakan dinginnya aliran menuruni leher. Tatapannya hanya menemukan siluet hitam bengis. Ia tahu, nyawanya dalam jarak beberapa senti di ujung tangan orang terkasih.
“Ibu. Ibu. Ibu.” Tangan Lanting meremas seolah memberi kerelaan. “A-ku se-lalu sa-yang Ibu....”
         
___
         
Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #DioramaKematian dari @KampusFiksi

Selasa, 03 Juni 2014

Kebersamaan

Narasi



          Kuusap kening berpeluh tanpa bantuan selembar tisu.  Lelah bukan main mengikuti celotehan anak kecil yang berpijak cepat bagai kutu loncat. Jika tahu begini, sedari awal aku tidak mengiyakan menggantikan posisi mama untuk menemaninya. Rambut lantang durian, pipi bergelembung, dan deretan gigi seri tak lengkap, sudah mengobrak-abrik suasana ceriaku hari ini. 

          Dan sekarang, kaki mungilnya berhenti tepat di toko kue. Mata belonya seakan berbayang menikmati suguhan kue pelangi di etalase. Ayolah, jangan sampai ia memanggil sementara kedua tanganku menenteng sekotak martabak manis dan selusin donat. 

          Rian menoleh ke arahku yang cepat-cepat menatap sekelompok remaja bermain sepatu roda. Hanya sekadar pengalih, tetapi cukup menghibur atas kelihaian mereka berjungkit dan memutari barisan botol. Kuharap Rian ikut tertarik dengan apa yang kulihat. Lewat ekor mata, senyum meruntuhkan kuncian bibirnya. Aku terus berdoa.

          Wajahku spontan menunduk ke bawah ketika merasakan jemari tangan menarik bawaan. Tanpa basa-basi, suara merajuk ingin masuk. Dan saat itulah aku berharap ini mimpi dalam maya. 

          Telunjuk-telunjuk itu mengarahkan kue pesanan. Setelah mendapatkan keinginannya, Rian bersemangat mengajak pulang. Sepanjang perjalanan, ia menjadi radio gratis. Ya, tetaplah ia adik kecilku. Sekesal-kesalnya, aku tidak benar-benar membencinya. Keceriaannya menambah dunia keluarga kami berwarna. 

          Seperti saat ini, jemarinya begitu erat memegangku. Kupikir hanya takut menyeberang dan melepasnya begitu sampai di seberang jalan. Dengan ringan aku mengatainya superman kikuk. Namun bukan balasan cerca yang kudapat, melainkan bibir manyun menahan sedih. Ryan mendongak. Bersusah payah aku menata ulang karena ragu pendengaranku salah. 

          Makanan yang kami beli menjadi tatapanku. Sosok kecil di hadapan terus menghentak-hentak tangan agar permintaannya dikabulkan. Gemas. Kuberjongkok untuk menyamai tinggi Rian. Ya ampun, jahat sekali aku melupakannya karena sibuk dengan teman-temanku. Tak pernah berpikir jika adik kecilku yang usil dan manja ini ingin diperhatikan olehku. Ah, tiba-tiba muncul segudang rencana untuk mengajaknya bermain. Lelah pasti akan kualami, tetapi kebersamaan seperti ini adalah hal yang berharga.
____

Dialog
   


“Ya ampun, bisa tidak diam sebentar? Sudah berapa banyak tempat kita masuki hanya untuk menurutimu?” Kuserbu Rian dengan kekesalan. Sosoknya yang setengah kali badanku hanya meringis tanpa salah.
“Ayo, ikut aku, Kak!” Bukan memberi sedikit prihatin, Rian malah menarik-narik tanganku untuk melanjutkan perjalanan.
“Wah... kue pelanginya....” 
Aku mengangkat alis. Sudah paham sifatnya yang langsung terpesona karena melihat kue pelangi di etalase toko.
“Jangan sampai mengajak masuk...,” gumamku lirih. Mataku turut tertegun karena bingung dengan makanan kutenteng. Ada martabak manis dan donat kesukaannya.
“Kakak—“
Suaranya mengalun dan aku segera mengalihkan tatapan pada sekelompok remaja bermain sepatu roda. Mereka berjungkit dengan memutari barisan botol dengan lihai. Kuharap, Rian pun tertarik melihatnya.
“Kakak malah diam!” Tahu-tahu ada tangan menarik bawaan.
Aku menghela nafas. Rian melancarkan mata sayu untuk melunakkan hati. “Makanan ini saja belum dimakan.” Kuangkat bawaan agar ia sadar dengan hasil keliaran kami.
“Tapi aku suka kue pelangi. Ayo....” Nyatanya aku tak sanggup mempertahankan pijakan diam di tempat.
“Yang ini, ini, dan ini, Kak!” Rian menunjuk-nunjuk beberapa macam kue pelangi. Setidaknya aku tidak khawatir karena mama memberi uang lebih.
“Lalala... lalala... aku senang sekali... doraemon....” Berkali-kali Rian melantunkan lirik yang sama. Kulirik wajah cerianya begitu teduh.
“Hei! Superman kikuk dari tadi masih memegang tangan. Kita sudah tidak menyeberang loh. Biasanya cepat-cepat melepas jika sudah menyeberang.” Rian tidak membalas meski kulontarkan ejekan.
“Kamu kenapa?” Aku sedikit terkejut karena mendapatkan wajah sendunya.
“Kakak... Sebenarnya aku kangen. Selama ini kakak selalu pergi dengan teman-teman padahal aku juga ingin bermain bersama.”
“Eh?”
“Aku sengaja membeli makanan banyak agar nanti bisa dimakan berdua oleh kita. Jadi kakak tidak pergi dengan teman-teman hari ini... Bisa tidak, Kak?”
“Rian?”
“Kakak jangan pergi ya, temani aku....”
Kuberjongkok untuk menyamai tingginya. “Maaf ya, kakak sibuk sendiri. Kakak janji, hari ini kita akan bergembira sampai lelah.”

_____

Cerpen ini diikutkan dalam tantang menulis #NarasiVSDialog dari @KampusFiksi