Semua
gadis di dunia ini pasti menginginkan menikah dengan pemuda yang dicintainya.
Begitu pula sang pemuda, ia juga mencintai gadis itu. Ya, saling mencintai.Tapi,
bagaimana jika tidak ada cinta di antara keduanya? Atau salah satu pihak yang
mencintai? Sementara menata hati, biduk rumah tangga harus mereka perjuangkan
dari hantaman keras semesta. Sungguh, itu bukan hal sederhana. Keadaan seperti itu berperan nyata tanpa
diminta.
Ah, aku tersenyum miris membicarakan hidupku.
Memiliki seorang suami yang sangat kucintai meski tak ada cinta darinya. Merajut
benang kusut tak semudah yang dibayangkan. Sesulit perasaan Iza untuk kutembus
selama tiga bulan ini.
_o0o_
Baru saja Iza meninggalkan rumah
bersama tas kerja yang kusiapkan. Aroma wangi pakaiannya hanya bisa kuendus
dari jauh. Sebagai istri, kumemiliki doa dan kepercayaan untuknya. Tak kupungkiri,
ada kelegaan setiap Iza pulang meski menyodorkan wajah dingin. Tentunya tetap
kusambut ramah dan mempersiapkan air hangat untuknya mandi. Kala makan, kami fokus
pada dentingan piring dan gelas tanpa bercengkerama setelahnya. Aku tidak apa.
Seperti yang kukatakan, aku lega mendapatinya dalam keadaan selamat.
Malam ini lain, berjam-jam aku menatap
makanan di meja menunggu Iza pulang. Sup tofu kesukaannya sudah dua kali kupanaskan.
Sekarang menyisakan suam-suam lemah. Tak lebih dari sepuluh menit pasti kembali
pada titik suhu normal ruangan.
Tirai disibak masih menampakkan
rerumputan berkalang sepi. Remang malam begitu lihai terbagi. Telepon Iza tak
aktif membuat gusar berkepanjangan. Ah, bodoh! Seharusnya aku meminta nomor
telepon teman-temannya dan tempatnya bekerja.
Tok! Tok! Tok!
Pendengaranku luruh. Pukul sembilan
malam. Jangan sampai seperti di sinetron. Ketika membuka pintu dan harus beradu
dengan seseorang berseragam polisi apalagi memberitahukan bahwa... tidak-tidak!
Aku tidak boleh berpikir buruk.
“Selamat malam!”
Kutahan nafas karena kekhawatiranku
melesat jauh dari kebenaran. Tapi tergantikan perasaan tak menentu saat
menangkap binar kecantikan seorang wanita.
“Boleh saya masuk?” tanyanya sedikit
mencuri pandang ruang tamu. “Saya Gina, sekretaris Pak Iza,” jelasnya mengaku
bernama Gina.
Aku terkesiap malu karena tak segera mempersilakan duduk. “Maaf, saya
istrinya, Kinasih. Selamat malam dan silakan masuk.” Dalam hati masih mereka-reka
acara resepsi kami waktu itu. Sepertinya sosok ini tidak kutemui saat perjamuan
khusus rekan-rekan kerja Iza. Lalu apakah dirinya berbohong atau ingatanku yang
buruk, aku tak tahu.
Gina melewatiku. Ia berjalan santun
dan sejenak menikmati aksesoris besar di dinding. Foto wajah bahagiaku bersama
Iza saat menikah. Tanganku meraih lengan Iza. Pandangannya lurus pada fotografer
tanpa peduli mataku berharap perhatiannya.
“Jadi... ada apa?” Pertanyaanku
mengawali obrolan setelah Gina mendaratkan tubuh ke sofa.
“Oh, maaf saya mengganggu kesibukan
anda. Tujuan saya kemari berhubungan dengan Pak Iza yang sampai sekarang belum
pulang.”
Aku mengernyit. Sedekat itukah
hubungan sekretaris dengan atasannya? Atau aku wanita rumahan kurang pergaulan?
Aku wanita biasa, asli dari kampung yang mengenyam kehidupan kota secara dadakan.
Aku belum mengerti soal relasi dan kesibukan Iza selama di kantor. “Suami saya
memang belum pulang. Bahkan saya kesulitan menghubunginya.”
Gina terdiam. Tampaknya matanya lebih
tertarik mengamati penampilanku. Aku risih.
Kuakui pakaiannya bagus. Rok setinggi lutut warna hitam dan baju bergaris-garis
warna senada. Ditambah cardigan warna putih tulang menambah kesan seorang
wanita karir fashionable. Lalu
keadaanku... seharian di rumah hanya mengenakan baju terusan berbahan kaos.
Seperti apakah trend baju di luar sana, bukan prioritasku. Jika diperhatikan
seksama ada guratan hitam, bekas cipratan minyak di punggung tangan. Tanpa ada
pembantu maka spatula menjadi peganganku sehari-hari. Dan Gina, jemari mulusnya
mengenggam tas kecil bermerk internasional.
“Aku tahu di mana suamimu. Maaf,
bolehkah aku memanggil dengan kamu?” Mulutku jelas terlihat membuka. Heran. Setelah
mengucapkan pernyataan yang masih kucerna, Gina menyandarkan punggung.
“Ehm... ada apa?” Aku tak menanggapi
permintaannya. Aku lebih peduli keberadaan Iza.
Gina memamerkan barisan gigi. Senyum
tanpa paksaan diberikannya. “Jangan khawatir, suamimu ada rapat mendadak dengan
klien di Bandung. Handphonenya sempat jatuh, makanya tidak bisa dihubungi.”
Aku mengangguk pelan. Merasa sedikit aneh,
Gina berusaha mengakrabkan diri dengan memanggil kami demikian. Juga terselip
kecewa kenapa Iza tidak menelepon rumah lewat kantor dan membiarkanku dirundung
gelisah.
“Sebenarnya ia memintaku menelepon
tapi kupikir aku harus menemuimu langsung. Sekalian memberitahu sesuatu. Ya,
kamu tahu kan, ia sangat sibuk.”
Aku menarik nafas. “Kau sangat
mengenalnya?”
“Tentu, kami saling mengenal sejak
kecil. Bahkan hubungan kami hampir diikrarkan di depan penghulu jika saja kamu
tidak mengambilnya.”
Deg! Seperti dedaunan hening menikmati
alam diterpa angin tiba-tiba. Kaget luar biasa.
“Apa... maksudmu?” Kuremas baju di
bagian lutut. Gina makin santer menjelaskan.
“Aku tahu kisah kalian. Tiba-tiba kamu
mengaku telah dihamili olehnya. Padahal aku baru saja dilamar. Bersusah payah
harus meredam amarah orangtuaku. Meyakinkan mereka bahwa Iza tetaplah pria yang
baik. Hidupku sendiri kacau. Sebagai wanita, kamu bisa bayangkan bagaimana
perasaanku waktu itu.”
Airmataku tak punya wewenang minta
izin. Lancar mengalir seperti guyuran hujan di tanah kering.
“Kau telah kehilangan janinmu, kan? Itu
berarti tanggungjawab Iza juga berakhir sesuai perjanjian. Jadi, kuminta Iza agar
kembali ke sisiku.”
Kuseka airmata meski tak tuntas sampai
kering. Wanita ini benar. Perjanjianku dengan Iza tertulis di lembar kertas. Iza
benar-benar masih mencintainya. Surat perjanjian kami bahkan diberitahukan pada
Gina. Oh Tuhan, di mana Engkau? Tak pernah aku sesering ini menyebut-Mu dalam
hati. Apa yang harus kulakukan? Salahkah aku karena Iza telah meninggalkan
wanita yang dicintainya demi janinku waktu itu? Apakah salah jika meminta
pertanggungjawabannya gara-gara dikuasai alkohol hina? Sekarang, wanita di
depanku memintaku bercerai. Ia ingin Iza kembali. Tolong kuatkan aku, Tuhan.
_o0o_
Sprei ranjang telah kuganti. Terhirup
aroma lavender sedikit menenangkan. Pukul sebelas malam dan aku setia menunggu
suamiku keluar dari kamar mandi. Aku merasa Iza agak terkejut saat kusambut
pulang. Mungkin melihat sembab di area mataku yang tak berhasil dihilangkan oleh
bilasan air.
Cklekk!
Tak sengaja kami bertemu tatap. Iza
berdiri terpaku dan mengalihkan perhatian pada sprei biru bermotif bola-bola.
Kuberikan kesempatan agar ia leluasa berganti piyama. Tapi kuurungkan karena
suaranya memanggil.
“Apakah Gina datang kemari?” Iza duduk
di ranjang. Tubuhnya dilapisi kaos tampak nyaman menikmati empuknya busa
ranjang.
Aku mendekat beberapa langkah. Menarik
kursi di depan kaca rias. Firasatku, Iza mengajak berbicara serius. “Ya, ia
memberitahu semuanya. Aku berterimakasih telah diingatkan pada perjanjian itu.”
“Lalu apa yang kamu lakukan?”
Kutatap wajahnya. Tampak kelelahan
menghinggapi. “Bisakah kita bicarakan besok? Kamu butuh istirahat.”
“Sekarang atau besok tak ada bedanya.”
“Kalau begitu kamu sudah tahu jawabanku.
Perjanjian itu sudah menjelaskannya, kan? Atau hanya ingin mengujiku?” Kugigit
bibir bawah. Maaf, Iza, aku tidak bermaksud marah.
Iza beranjak. Kepalaku memutar seiring
gerak tubuhnya menghampiri lemari. Bagian paling bawah terdapat barisan laci.
“Pernikahan kita baru berjalan tiga bulan. Jika bercerai apa yang terjadi pada
keluarga kita?” Iza mengambil map. Aku tahu isinya.
“Aku bisa menjelaskan pada ayah dan
ibu.”
“Apakah posisimu disulitkan kertas
ini? Seandainya tidak ada, apakah kamu akan melepas dan membiarkanku pergi?”
Aku tak mengerti arah pembicaraan Iza.
Kutanggapi dengan mimik bisu sementara ia terus berucap.
“Kamu tahu, saat mengucapkan lafal
ijab qabul hatiku berdesir tak karuan. Kubayangkan untaian kalimat itu mengguncang
dunia karena terpaut janjiku bukan hanya padamu tapi juga untuk-Nya. Itu bukan
kalimat main-main yang bisa ditaklukkan perjanjian bodoh ini.”
Aku tertegun. Iza tiba-tiba
mengeluarkan kertas perjanjian dan menyerahkannya padaku. “Iza?”
“Terserah apa yang kau lakukan. Tapi
aku punya permintaan, tetaplah bersanding denganku dan ajari cara mencintaimu.”
“Tapi—“
“Aku ingin menjadi suami yang baik.
Maaf jika selama ini aku bersikap dingin. Aku ingin memahamimu tapi tidak tahu
harus memulainya darimana.”
Aku berdiri langsung memeluk erat
suamiku. Kaosnya putih polos, kini tercetak pulau air tak terbentuk. “Aku
mencintaimu... Aku takut kehilanganmu karena Gina. Gina—“
“Gina masa laluku dan kau masa
depanku. Soal perjanjian itu tak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Bukankah
saksinya adalah Tuhan? Tuhan pasti lebih meridhai janjiku sebagai suami, bukan
pria pengecut.”
____
Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #KalimatPertama dari @KampusFiksi.
Tiga kalimat pertama diambil dari novel Notes to You karya Mufidatun Fauziyah.