Gelas
bergetar seiring gerakan tangan wanita mendekatkan ke arah bibir. Baru setengah
perjalanan, gelas tak bergeming di dalam genggaman mendentangkan irama
mengejutkan. Pecah. Menyebarkan potongan bening tajam ke segala arah. Lantai sebelumnya
bersih kini dikotori cairan gelap tak lagi diharapkan. Bisa-bisa tertambah
cairan merah jika diinjak sembarang oleh kaki liar.
Pintu
terbuka. Sepasang mata awas melihat wanita paruh baya.
“Dasar
tidak berguna!” Sebuah teriakan terdengar. Badan rapuh kemudian memilih menyatukan
diri ke ranjang.
Mulut
terkunci rapat. Tak ada guna mengeluarkan sumpah serapah memanaskan telinga.
Meski terbiasa tapi kali ini ia enggan mengeluarkan. Tanpa berpalingpun ia tahu
jika anak perempuannya sedang berjongkok memunguti pecahan gelas tanpa
perlindungan tangan.
“Pergilah!”
sentak sang ibu.
Tangan-tangan
tetap bergerak sementara gendang telinga dibiasakan sekokoh benteng. Sapu yang dibawa
segera digunakan membersihkan sisa pecahan gelas. Sengaja, telapak-telapak kaki
disentuhkan untuk memastikan lantai aman saat dilewati.
Langit-langit
kamar menjadi pusat perhatian sang ibu. Telinganya mendengar suara pintu
berdecit. Mau tak mau ia menoleh hingga terlihat baki berada di atas meja.
“Ibu,
minumlah.” Mata itu melirik sinis ketika dibawakan minuman baru.
“Sudah
sana! Aku bisa sendiri!” Lagi-lagi teriakan memenuhi relung hati sang anak.
Menunggu
beberapa lama hingga tak ada komentar, maka langkah kaki mulai meninggalkan
kamar.
“Hei!
Lanting!”
Spontan,
tubuh berbalik. Ah, nama yang seharian ini tidak disebutkan memberi kelegaan pada
seseorang bernama Lanting. Setidaknya ia merasa diingat. Lanting berdiri di dekat
pintu menikmati masa itu. Telah bertahun-tahun ia mendiami rumah sederhana bersama
keluarga kecilnya. Berempat di waktu petang, mereka berkumpul di depan televisi
kecil sambil bercakap. Lanting terkadang disibukkan menemani Arung belajar, saudara
tirinya yang masih TK. Dan sosok ibu tirinya memijat punggung sang ayah setiap pulang
kerja.
Senyum
itu ditorehkan. Ayah dan ibunya selalu menepis kekhawatiran pada mereka tanpa
membedakan kasih sayang. Lanting bahagia meski rumahnya tak seluas milik
tetangga sebelah. Lanting bahagia biarpun disuguhi lauk sederhana sambal terasi
dan sayuran rebus. Ia bahagia karena kehangatan keluarganya.
Namun
kenyataan yang dirasakan telah menguap. Tak ada lagi sosok ayah dan Arung di
rumah. Ketiadaan mereka juga diiringi sambutan dingin ibunya. Tak ada lagi belaian
sayang sebagai pengantar tidur, perhatian, atau nasihat penuh kelembutan di sela-sela
istirahat. Senyum ibunya telah hilang semenjak kejadian itu. Hanya tatapan marah,
bentakan keras, dan teriakan tak berujung mewarnai hidupnya. Perubahan sampai
sekarang memuncakkan kehampaan di sanubari.
“Heh!”
Bola
mata Lanting mengerjap, perasaan bersalah menggelayuti karena membiarkan sang
ibu menunggu respon darinya.
Dengan
langkah gesit, Lanting menghampiri. “Ya, Bu.”
“Kenapa,
kenapa kalian jahat?” Suara pelan namun membekukan tubuh Lanting.
“Aku
sayang ibu.”
“Cih,
kalian, ayah dan anak sama saja!” Ibunya pelan-pelan bangun. Lanting berusaha
memegangi.
“MINGGIR!”
Dorongan ibunya menyentakkan tubuh Lanting hingga menabrak pinggiran meja.
“Ibu....”
Tergopoh-gopoh, wanita di hadapan Lanting memasang wajah garang.
“Jangan
panggil aku ibu! Aku bukan ibumu! Aku tidak punya anak seorang pembunuh! Kau
dan ayahmu! Sssh, Ayahmu—” Mulut gemetar tak sanggup melanjutkan. Pemandangan
itu makin diperburuk karena tangan memegang sebilah pisau.
“Ibu!”
Lanting makin terdesak. Punggung terhimpit lemari sementara pisau mendekati
leher. Melihat ibunya kalap, Lanting tak berbuat apapun. Bisa saja ia
menjauhkan diri dengan mendorong tubuh ringkih itu. Tapi tangannya sengaja ditahan
sekuat tenaga.
“Jika
bukan karena ayahmu, Arung masih hidup! Ia telah membunuh anakku! Aku tidak
terima jika pembunuh busuk itu hanya dihukum 2 tahun. Nyawa anakku tidak
semurah itu!” Pisau ditekan di permukaan kulit leher. Lanting meringis karena
koyakan tipis dirasakannya.
“Ayah
sangat menyayangi Arung, Bu. Arung meninggal karena kecelakaan. A—“
“DIAM!
Ia membunuh anakku! Jika ia tidak mengajak pergi, Arung masih di sini! Anakku masih
tertawa-tawa dan melompat kegirangan, bukan terbungkus kafan di tanah dingin!”
Lanting
terdiam. Ia mencoba meraih tangkai pisau, menutupi tangan ibunya sedang
melesakkan tenaga di leher. “Kalau mau, Ibu bisa melakukannya. Ibu boleh
membunuhku.”
“Ya,
ya! Anakku mati dan kau harus mati!”
“Ibu—“
“Rrrgh!”
Mata senanar api benar-benar memadamkan kasih sayang itu. Terjerumus dalam
lingkaran menyesatkan dan mungkin ia kesulitan keluar untuk menyesali diri.
“Aku...
sayang ibu....”
“Mati
kau!”
Lanting
membuka mulut dengan terengah-engah. Nafasnya tercekat dan ia merasa kebas untuk
merasakan dinginnya aliran menuruni leher. Tatapannya hanya menemukan siluet
hitam bengis. Ia tahu, nyawanya dalam jarak beberapa senti di ujung tangan orang
terkasih.
“Ibu.
Ibu. Ibu.” Tangan Lanting meremas seolah memberi kerelaan. “A-ku se-lalu
sa-yang Ibu....”
___
Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #DioramaKematian dari @KampusFiksi