Cerita semasa SMA dulu yang bila dibaca lagi membuat pipi memerah malu :)
Editan nih....
BEAUTIFUL LIFE
Bel
tanda akhir pelajaran membuyarkan konsentrasi murid-murid Kanagawa. Mereka
bergegas membenahi buku setelah para guru mengakhiri pertemuan hari ini.
Tampak murid yang berada di kelas paling pojok mulai berhamburan keluar dengan
bergerombol. Sesosok gadis berambut sebahu mendekati pria yang duduk disampingnya.
Dengan sedikit gugup ia menyodorkan sebuah buku tulis.
”Shinji, bukumu terjatuh.” ucap Megumi. Tanpa reaksi apapun Shinji segera memasukkannya ke dalam tas
hitam.
”Shinji!”
panggil Megumi melihat Shinji beranjak. ”Em...apakah kita bisa pulang bersama?”
”Maaf, hari ini aku ada janji dengan teman.”
”Benarkah? Kemarin juga bilang
begitu tapi ternyata pulang sendirian.”
Shinji terdiam, ia menghela nafas.
”Mungkin bagimu ini perhatian tapi tidak membuatku nyaman. Mencarikan buku-buku, meminjamkan catatan atau menungguku di pintu gerbang. Megumi, aku tidak suka
diperlakukan seperti ini. Tolong, bersikaplah biasa seperti lainnya.”
Megumi terdiam, merasa gugup ditatap aneh oleh
pria di depannya itu.
”Tapi!
Aku hanya – ”
”Seperti
yang kukatakan, aku tidak suka diperlakukan berlebihan. Kau mengerti, kan? Mengenai kemarin aku memang ada
janji.”
Tanpa banyak bicara Shinji melangkah keluar
meninggalkan ruangan. Megumi masih berdiri terpaku, kembali ia tersadar ada beberapa
teman-teman sekelas memperhatikan.
Sore
ini langit begitu cerah membuat siapa saja berkeinginan keluar. Langit
berhiaskan awan putih membentuk aneka motif. Terkadang orang akan melihat
sesuai dengan khayalnya masing-masing. Dengan sigap burung-burung gereja
beterbangan membuat iri bagi mereka yang ingin merasakan kehidupan di atas
sana, indah ataukah
menakutkan.
Megumi berjalan disepanjang trotoar sambil membawa belanjaan yang ia beli
dari toko. Sesekali mengamati lapangan dimana ia sering melihat orang-orang
seusianya bermain bola atau duduk bergerombol. Shinji berada di tengah-tengah
kerumunan itu. Seperti biasa, memakai topi coklat dan asyik bercerita.
”Terkadang
aku iri kenapa banyak gadis menyukai seseorang seperti dia!”
Suara dari arah belakang mengejutkan Megumi.
Nakano muncul menyapa.
”Dia
memang lebih tampan tapi aku lebih pintar darinya.” lanjut Nakano.
”Kurasa
begitu, Nakano juga sangat baik!”
”Lalu
kenapa tidak menyukaiku? Dia
sering membuatmu kecewa.”
”Nakano...”
Megumi duduk yang diikuti Nakano.
Mereka terdiam sejenak, orang-orang di lapangan
masih bermain berebut bola. Benda bundar itu melambung tinggi ditendang oleh
pemain. Mereka duduk di bawah pohon sakura masih mengamati jalannya
pertandingan.
”Waktu
kecil kita pernah hujan-hujanan di lapangan. Kau memintaku mengajari naik
sepeda bila ayahmu sibuk ke luar kota. Kau berlatih dengan semangat meskipun
berkali-kali jatuh. Kita
pergi diam-diam tapi akhirnya ketahuan oleh ibumu dan membawamu pulang. Aku
cemas bila kau tidak diperbolehkan bermain lagi denganku.” ucapan Nakano memecah kebisuan.
”Aku ingin seperti anak-anak lain. Bermain dengan bebas, bukan
menjadi anak penurut yang jarang keluar rumah dan menangis setiap kali
dikucilkan. Jika sudah begitu, ayah dan ibu akan mengurung di kamar sampai
aku mengaku salah.”
”Itu
sudah berlalu, kan.”
”Sampai
sekarang aku merasa bodoh.
Kenapa dilahirkan sebagai anak penakut yang tidak bisa mempertahankan keyakinan?
Kenapa tidak mempunyai keberanian untuk membuat keputusan sendiri? Apakah mereka menyayangiku?”
”Yang
kutahu setiap orangtua menyayangi
anaknya.”
”Enaknya menjadi seorang bayi.” gerutu
Megumi sambil mengerucutkan bibir.
”Menjadi
bayi memang menyenangkan tapi kita tidak tahu betapa repotnya orang tua. Sudah
jangan bersedih, wajahmu tambah jelek.”
Megumi hanya
menopang dagu. ”Kau berangkat besok ya, jam berapa? Aku ingin mengantar.” Megumi berpaling
pada temannya itu.
”Pagi. Saat pelajaran
matematika dari Yamato-sensei. Tidak apa kok, aku senang
kau mendoakan selamat.”
”Empat
bulan waktu yang cukup lama. Karena
aku tidak punya teman sebaik
dirimu. Ngomong-ngomong beruntung sekali kau mendapat beasiswa ke Paris.”
”Aku
harus belajar keras mendapatkan beasiswa. Aku kan tidak punya keluarga untuk
membiayai.”
”Aku
pasti merindukanmu.”
Nakano membalas senyuman Megumi.
Koran-koran
berceceran di lantai sementara seorang ayah membuka halaman lain. Sosok ibu juga sibuk mengiris-iris bawang di dapur dan terus
menunggu putrinya yang sejak tadi pergi ke toko. Suara langkah kecil masuk,
Megumi menaruh belanjaannya dimeja.
”Kenapa
membuat Ibu menunggu lama? Ibu membutuhkan bantuanmu!” tanyanya dengan singkat tapi bersuara tegas.
”Em..Ibu,
maaf. Tadi ...”
Megumi merasa
bersalah karena lupa waktu ketika mengobrol dengan Nakano.
”Simpan
alasanmu! Sekarang bantu ibu! Kau tahu ibu sangat sibuk. Apakah kau
mampir ke tempat lain? Kenapa susah
sekali mengingatkanmu, heh!”
Megumi terus memotong-motong wortel tanpa
menanggapi. Ia merasa lebih baik mendengarkan daripada menyela. Diam.
”Megumi!
Ayah baru saja memilah universitas
yang akan kau masuki nanti. Universitas
Tokyo tetap menjadi perguruan favorit. Tapi sebenarnya bukan
masalah universitas, yang penting Ayah dan Ibu akan mendukungmu mengambil
ilmu hukum.”
Bunyi pisau memotong sayuran terhenti. Megumi
menatap ayahnya dalam-dalam.
Ia teringat ketika dipaksa
agar masuk ke sekolah yang bukan
pilihannya.
”Hukum?
Tapi, aku tidak berminat
mengambil bidang itu, Ayah” ucap Megumi perlahan.
”Apa
maksudmu? Jurusan hukum memiliki prospek cerah saat ini. Banyak sarjana mudah mendapat pekerjaan
usai lulus. Apa kau ingin
menjadi pengangguran?”
Perkataan ayah membuat ibu tertawa kecil. Tapi
Megumi tidak merasakan sebagai sesuatu yang harus ditertawakan. Pilihannya
bukanlah hukum tapi seni
musik. Ia merasa kalah setiap kali
orangtuanya membuat keputusan yang tidak dapat ditentang.
”Ayah,
Ibu, Aku mengerti keputusan
ini tapi...bukankah aku yang akan menjalaninya? Selama ini aku berlatih piano karena tertarik dengan jurusan
seni musik. Itu yang ingin aku pilih,
Ayah.”
Ayah dan Ibu saling pandang. Ibu mengecilkan
kompor gas.
”Kami
sangat memperhatikan masa depanmu. Bagaimana Ayah dan Ibu dapat memberi izin
terhadap keputusan yang tidak kami setujui? Kau menjalaninya tapi kami tetap ikut andil memutuskan pilihan
terbaik untukmu. Semua demi kebaikanmu!” ucap Ayah.
”Tapi
– ”
“Ayahmu benar. Kau seharusnya
berterimakasih karena kami memperhatikanmu.”
“Aku tidak mau, Bu.”
”Sudah!
Sudah cukup. Pikirkan saja sekolahmu. Satu hal, Ayah tidak ingin dalam minggu-minggu ini ada suara piano di
dalam rumah!”
~..............~
Jam
istirahat masih berlangsung namun Megumi hanya duduk di kelas. Semalaman terus
memikirkan perkataan ayahnya
dan semua keputusan itu. Segalanya seakan sempurna dan mungkin
orang lain akan melihatnya sebagai orang beruntung. Namun semakin Megumi memikirkan semakin pula ia menyalahkan diri sendiri.
Pukul 09.10, Nakano pasti telah duduk nyaman di dalam pesawat. Megumi sempat menemuinya
tadi pagi untuk mengucapkan salam perpisahan.
”Hei,
kau melamun!” gertak Harada sambil menepuk bahu. Harada masuk bersama Shinji
mulai menjahili seperti biasa. Shinji duduk dan melanjutkan catatan yang belum
diselesaikan.
”Em...
Aku dengar ada pesta ulangtahun di
rumah Kanami, ya?”
”Kau
tidak menanyakannya pada teman sebangkumu?” Harada balik tanya.
”Haruko
tidak mengetahui. Mungkinkah yang mendapat undangan hanya anggota geng Kanami, gadis-gadis populer
di sekolah?”
”Aku
bukan murid populer tapi kami berdua mendapat undangan. Lumayan, sudah lama
tidak mencicipi kue ulang tahun. Pasti banyak sekali makanan nanti sore,
hahaha!”
Megumi menghela nafas. Ia kembali terbayang saat
Ayah dan Ibu merayakan ulang tahunnya namun tak seorang pun temannya datang.
Tentu saja, karena mereka merayakan di luar kota, tempat kakek Megumi. Ia
merasa dijauhi karena anak-anak lain sulit berteman dengannya.
”Sepertinya
kau kecewa.
Datang saja, kurasa Kanami tidak mempermasalahkan undangan itu.” ucap Harada ringan.
”Aku
rasa tidak!” sahut Shinji tiba-tiba dengan tidak mengalihkan pandangannya ke
buku. Harada dan Megumi menatap bingung.
”Kanami
menyambut tapi kau juga dipermalukan di depan orang-orang. Lupa apa yang dialami Kyoko? Kejadian
memalukan itu membuatnya sedih berkepanjangan” lanjut
Shinji.
”...Dia
benar! Kyoko sampai dibuat menangis. Aku tidak menyangka mereka sekejam itu!”
ucap Harada setengah teriak.
Megumi
ingat dan karena alasan itu esok
harinya Kyoko absen masuk bahkan sampai memutuskan pindah sekolah. Entah
apa yang dirasakan Megumi saat ini, seolah-olah
Shinji telah menyelamatkannya.
”Jangan
salah sangka! Aku berkata demikian agar kau berpikir dua kali, setidaknya
kejadian itu menjadi pelajaran bagimu.”
”E...iya,
Aku mengerti. Terima kasih telah mengingatkan.”
Murid-murid
Kanagawa keluar dari pintu gerbang. Megumi berjalan sendiri sambil menjinjing
tas. Sering ia menunggu di tempat itu dengan harapan Shinji akan mengajak
pulang bersama tapi tak pernah terjadi.
”Perutku...!” ucap Megumi sambil mengusap bagian tubuhnya. Ia mempercepat langkah. Dan –
Brukk!! Tasnya menyenggol seseorang di belakang.
”Shinji?
Maaf ....”ucap Megumi terkejut.
”Kalau
jalan hati-hati!”
Sayang, kata-kata itu bukan
terucap dari bibir Shinji namun seorang gadis yang berada di sampingnya. Megumi tahu gadis itu dari kelas lain dan akhir-akhir ini dikabarkan dekat dengan Shinji. Megumi terus memperhatikan mereka
berjalan di depan. Muncul pikiran tentang kebenaran kabar itu.
Ia terus berjalan dengan
perasaan tidak nyaman. Melihat wajah Shinji yang sekilas menatap seakan
menyimpan sejuta misteri. Bukan pertama kalinya Megumi mengenal Shinji
di SMU namun jauh sebelum itu saat mereka masih anak-anak. Apakah Shinji telah lupa masa-masa kecil
mereka?
Beberapa langkah dari pagar rumah sedikit
membuat resah. Sosok bayangan Ibu sejak kemarin tidak diajaknya bicara kembali memenuhi benak.
Cepat-cepat Megumi menaiki
tangga menuju kamar.
Blarr!
Suara pintu tertutup dari
dalam.
Bintang-bintang memancarkan cahaya menemani bulan
petang ini. Megumi berbaring di ranjang mengusap-usap perut yang sejak siang
hanya terisi sebungkus roti. Mata lelahnya terpejam namun tak juga membawanya
tidur. Sakitnya masih terasa.
”Shinji....
Aku sangat merindukan masa kecil kita. Saat saling mengganggu, saat mencari buah cerry bersama
Nakano, dan saat kita tertawa sepulang sekolah. Kenapa sekarang kau berubah?”
Megumi mengubah posisi. Kini ia
menghadap jendela dengan berbaring miring. Pikirannya mengawang pada kejadian
waktu itu....
Sebuah
kelereng berada dalam genggaman. Kelereng itu sering Shinji mainkan. Kelereng keberuntungan tak pernah lepas dari sakunya namun
harus terjatuh hingga membuatnya kecewa karena retak. Shinji
benar-benar kesal sampai melempar begitu saja ke got padahal satu-satunya
pemberian ayahnya yang sudah lama meninggal. Ada perasaan bersalah
ketika Shinji berjalan melewati Megumi, sama sekali tidak menatap dan merespon
permintaan maaf.
Dan itu terakhir
kali mereka bermain bersama.
Krssk!!
Suara muncul dari bawah membuyarkan lamunan. Megumi
terbangun. Sambil menahan sakit perut, ia mencari dari jendela. Ternyata
seekor anjing pudel berbulu coklat berada didekat pot. Sudah lama ia
ingin memiliki anjing peliharaan namun tidak diizinkan oleh ayah. Megumi turun.
”Tidak
ada kalung leher tapi bulunya bersih. Ia bukan anjing liar tapi milik siapa,
ya? Anjing manis, kenapa bisa
terpisah dari majikanmu?” Si anjing tidak mengonggong tapi malah
menggerak-gerakkan tubuhnya ke dekapan Megumi yang sedang mengelus.
”Megumi,
apa yang kau lakukan di luar?” panggil ibu.
”Iya,
Bu. Aku segera masuk. Anjing manis,
aku akan membawamu ke dalam. Jangan banyak bergerak, ya” dengan hati-hati Megumi menyembunyikan di balik jaket tebal.
~.......................~
”Aku
tidak tahu dia kemana tapi akan
tetap kucari.” ucap Shinji pada Harada.
”Mungkin
keasyikan bermain dan lupa pulang.”
”Kuharap
sepulang nanti dia sudah didepan
pintu menungguku.”
Megumi sedari tadi memperhatikan obrolan
mereka, mencoba mendekat.
”Sepertinya
Shinji baru kehilangan sesuatu, ya?”
”Dia
kehilangan anjingnya kemarin.” jawab Harada.
”Anjing?”
”Biasanya
pulang menjelang sore tapi sampai tadi pagi aku tidak melihatnya. Kalung
pengikat leher ada di kandang, mungkin ia tidak suka diberi benda itu.” jelas Shinji.
”Bagaimana
warnanya?”
”Coklat muda dengan bulatan kelabu dimata
kanan.”
”Pasti
anjing itu.”
“Apa maksudmu?”
“Semalam ada anjing seperti itu masuk halaman rumah. Ciri-cirinya persis yang
dikatakan tadi.”
”Benarkah?”
Shinji nampak terkejut.
”Iya,
kau tidak perlu khawatir. Aku akan mengantarnya sore nanti.”
”Baiklah.”
Megumi
tidak pernah menyangka bila anjing kecil itu milik Shinji yang hilang. Pantas,
ia sempat melihat Shinji sekilas lewat di samping rumah. Seharusnya Shinji berada dipesta Kanami petang itu tapi
tidak datang karena sibuk mencari anjing kesayangannya. Baru semalam Megumi
bersenang-senang dengan anjing kecil tapi hari ini harus mengembalikan pada
pemiliknya. Meski hanya sehari setidaknya Megumi sempat
menjadi pemilik anjing.
Siang hari cukup cerah. Pohon-pohon sakura berdiri dengan kokoh selalu membersitkan keindahan
pada saat bersemi dan berguguran.
Megumi berjalan cepat, ia baru
pulang membeli makanan anjing untuk
terakhir kali.
”Apa?!!”
suara terkejut dari bibir Megumi.
”Kenapa
kau melakukannya? Membawa
anjing liar ke dalam rumah, hah! Ayah dan Ibu tidak suka dengan hewan berbulu!” sahut ibu dengan nada
keras.
”Ia
bukan anjing liar, Bu. Anjing itu milik Shinji yang hilang. Aku berjanji akan mengantarkan pulang tapi... Ibu membiarkan ayah
membuang anjingnya!”
”Ibu
tidak suka. Lihat, kamar ini berantakan. Dan ini.....obat apa?”
”Itu...hanya
vitamin, Bu.”
“Vitamin?”
“E- ibu kenapa
tidak menunggu sampai aku pulang?
Harusnya kan –”
”Jangan
salahkan ibumu!!” seru Ayah tiba-tiba masuk.
”Ayah...”
”Karena anjing kau marah pada ibumu! Akhir-akhir
ini kau mulai berani membantah. Kami orang tuamu, ingat!” Ayah dan ibu
meninggalkan Megumi sendiri.
Megumi masih terdiam dalam
posisinya. Dia melangkah dan duduk ditempat tidur. Didekapnya erat-erat bantal yang sobek dibagian
tepi karena cakaran.
“..........................”
Matahari
mulai terbenam, Megumi masih mencari-cari setiap gang kecil yang mungkin dilalui
anjing itu. Sementara itu mungkin
pemiliknya menunggu kedatangan
Megumi yang tak juga muncul.
”Di
saat sulit Nakano selalu membantu, tapi sekarang...” Megumi terus mencari
hingga di tempat lapangan.
”Hampir
petang, aku harus ke sana.” dengan gugup Megumi berjalan ke tempat
Shinji. Dilihatnya pintu tertutup. Megumi mulai bimbang, namun sekilas terlihat
seseorang mendekap seekor anjing. Shinji membawa anjing sambil terus
dibelainya.
”Anjingnya.....”ucap
Megumi. Ia melihat Shinji dari seberang yang tampak senang telah menemukan anjingnya.
Senyum yang lama tidak ia
lihat. Megumi merasa lega melihat semuanya itu. Ia bersiap menghampiri namun
pintu terburu ditutup kembali.
”Shinji.....”
Megumi menghentikan langkah. Berdiri terpaku memikirkan apa yang akan
dilakukan. ”Dia pasti merindukannya. Aku hanya akan mengganggu.” Megumi berbalik
arah. Rasa letih mulai dirasakan. Ia
mengistirahatkan kaki di bangku taman sambil memandangi makanan anjing dalam
genggaman.
”Shinji
pasti makin membenciku.” air mata membasahi
pelupuk mata.
~................~
”Shinji,
aku ingin berbicara sebentar.
Soal anjing itu....”
“Ein?
Dia sudah pulang.” sahut
Shinji.
“Namanya Ein, ya. Sebenarnya aku
akan mengantar tapi anjingnya tidak ada dirumah. Kemudian – “
“Benarkah?” potong Shinji.
“Aku
tidak berbohong! Sepulang sekolah sudah tidak ada. Aku mencarinya tapi.... “
“A - aku minta maaf! Tidak menepati janji.” lanjut Megumi sedikit
menunduk.
“Kemarin
aku menunggu tapi kau tidak segera muncul. Karena tidak sabar kuputuskan keluar.
Saat itulah aku melihat Ein ada ditempat penjualan anjing. Keadaannya tidak begitu baik. Kakinya terluka.”
”Terluka?
Aku benar-benar minta maaf. Saat
kerumahmu ternyata anjingnya sudah ada bersamamu.”
“Kenapa tidak menemuiku?”
“E- e....”
“Kau
takut menemuiku?”
Megumi tidak menjawab.
“Hei!!
Ada brosur. Ayo, silakan
ambil.” Haruko muncul dengan setumpuk brosur ditangan. Teman-teman saling
mengerubung.
”Megumi,
mau kemana? Bacalah, ini universitas favoritmu.” ucap Haruko.
”Iya,
nanti saja...”
Megumi memilih
keluar kelas. Mengacuhkan pertanyaan Shinji serta brosur yang menjadi perhatian
teman-teman sekelas.
Dari
permukaan air memperlihatkan
bayangan muram. Kedua mata sembab dan bibir bergetar menahan tangis. Rasanya
kaki tidak kuat menopang berat tubuhnya seperti kesakitan karena terbebani kehidupan yang makin memuakkan.
”Rasanya
sakit...” Megumi terduduk di kamar kecil sambil menelentangkan tangan kanan.
Setetes, dua tetes darah mengalir jatuh di lantai. Matanya terpejam, berbagai peristiwa
satu-persatu beriringan muncul. Hingga tiba-tiba suara pintu
terbuka mengagetkan dirinya.
”Megumi!”
Megumi membuka mata. Ia berbalik badan dan
mendapatkan seseorang berdiri beberapa jarak darinya. Shinji.
”Apa yang kau lakukan?”
Megumi beranjak mencoba menutup lukanya dengan
gulungan tisu. Darah sedikit merembes melalui celah-celah.
“Aku tidak apa, kok.”
Shinji yang baru
saja membuka pintu lantai atas itu tidak berhenti menatap.
”Hei!” seru Shinji melihat Megumi setengah berlari
melewatinya.
“Shinji, lepaskan.” pinta Megumi karena
Shinji memegang erat tangan itu.
“Kenapa sampai berdarah?”
”Tidak
apa-apa.”
Megumi meronta hingga
pegangan terlepas. Segera ia pergi dari tempat itu dengan perasaan kacau.
................
”Sejak
tadi kakak disini, apakah menunggu
seseorang?” tanya seorang anak kecil duduk disebelah
Megumi.
Megumi menoleh,
ia memasang senyum melihat anak kecil berambut panjang dengan kuciran
disamping. ”Tidak....”
”Sepertinya
kakak lapar. Memegang perut
terus. Ini roti untuk kakak.”
”Terimakasih.
Kakak hanya kurang sehat.”
”Kakak
terlihat pucat. Tangan kakak juga terluka. Pasti sakit....” ucap anak kecil itu sambil menggigit
bibir.
Megumi
menggeleng. ”Hanya luka ringan.”
“Sebaiknya dibawa ke dokter.”
Megumi tertawa
kecil. “Tidak apa-apa.”
”Dulu
aku sangat takut dengan dokter.”
”Oh
ya?”
”Aku takut diperiksa. Kata ibu, waktu
bayi sering berganti dokter karena
sakit-sakitan. Tapi sekarang aku makin kuat dan tidak pernah merasa sesehat ini. Jadi, kakak
jangan takut ke dokter. Apa yang sakit, katakan saja.”
”Pintar. Siapa namamu?”
”Daeshuke,
Kakak?”
”Megumi,
senang berkenalan denganmu, ya.”
”Ah,
ibu sudah menjemput. Kakak aku pulang dulu ya, sebaiknya kakak juga istirahat. Sampai
jumpa!”
Daeshuke
berlari-lari kecil menuju ibunya yang datang menjemput.
”Sampai
jumpa....”
Kini
ia sendirian. Megumi merasakan tubuhnya sangat lemas. Ia ingat jika hari
ini membolos. Pelajaran ditinggalkan, tas tidak sempat dibawanya dan ia yakin jika tidak mungkin pulang
dalam keadaan seperti ini. Ayah dan ibu pasti akan sangat marah.
”Pulang....?
Rumah luas, sejuk dan indah, tapi bukan rumah untukku. Aku mungkin kembali tapi tidak sekarang, tidak untuk malam ini, atau
mungkin besok. Bahkan tidak
pernah... entahlah, aku tidak tahu.” Megumi terus menggumam tanpa mempedulikan desiran angin menusuk
tulang.
”Semuanya
akan berakhir, aku tidak
perlu takut. Apa yang dirasakan sekarang bukanlah apa-apa. Aku hanya menjalani dan tidak ada seorangpun mengganggu
kebebasan ini, kan? Tersenyum
menyusuri jalan panjang hingga menunggu Tuhan berkata sudah cukup.... Aku hanya menunggu....” Megumi terpejam dan terus
berbicara menghibur diri. Ia tidak dapat menahan tangis dan sakit yang menyelimuti
seluruh tubuh. Malam terus berjalan dan ia semakin berat membuka mata.
..................
”Kau
sudah bangun....?” terdengar suara lirih. Samar-samar melihat sosok
dihadapannya.
”Kau
ada dirumah sakit. Ada apa denganmu? Kau menghilang dengan keadaan seperti ini.” tanya orang
itu sambil terus mengenggam. Gadis yang berbaring lemah itu menatap kosong seakan tak ada siapapun di dekatnya.
”Sakit...” suara terdengar
pelan dan berat.
”Jangan khawatir, semua akan
baik-baik saja. Dokter akan merawatmu.”
Mata sesekali terpejam. Menggigau tentang sesuatu
yang ia sendiripun tidak menyadarinya.
”Bertahanlah,
aku mohon.”
Entah suara apa yang selalu membisiki, dengan setengah sadar Megumi melihat beberapa orang berbaju hijau
mengelilingi dirinya dan mencegah orang-orang yang mungkin
mengganggu perawatannya. Langit-langit seakan tak ada jarak,
terbentang luas dan dapat diraih dengan sejurus pandangan. Tembok tidak menjadi sekat sehingga ia mampu melihat
keadaan jauh sekalipun. Dimanakah ini? Ia merasa hebat melihat
dunia dengan lebih bebas dan
luas.
Ruangan begitu hening dan dirasakan orang-orang
yang menunggu di luar semakin cemas.
”Dokter!”
”Sakit levernya sudah terlalu parah. Maaf, kami sudah
berusaha....”
Tatapan terlihat redup membersitkan sesuatu.
Langkah-langkah kecil memasuki ruangan memaksakan diri untuk melihatnya yang
telah pergi. Kain tipis masih menyelimuti agar tubuh itu tetap hangat. Belaian
terakhir dari mereka semakin menggoreskan tangis menyayat hati. Orang tua itu menatap pedih pada putrinya yang tertidur untuk
selamanya.
”Maafkan
aku....maafkan aku....” suara serak menahan tangis dari bibir Shinji. Dia
bersandar lemah di luar ruangan. Terlihat dari jendela, desau angin menerbangkan dedaunan kering. Megumi
tidak berada di tempat ini lagi, terbang mengelilingi sejenak orang-orang yang menunggu
jasadnya untuk pergi ke
tempat lain. Waktu telah berakhir baginya dan nampaknya Tuhan telah mencukupkan
jalan yang terjejali oleh langkah kaki Megumi. Semua perjalanan telah diakhiri.
FINISH