Senin, 31 Maret 2014

Pertemuan Senja



                “Selamaaaatt!”
            Shiori tak bisa menyembunyikan rasa senang atas perjamuan sederhana dari teman-teman yang merayakan hari lahirnya. Mulutnya mengumpulkan udara siap mengusir lentera setelah berdoa. Tepuk tangan di sekeliling makin meramaikan suasana meski hanya sekumpulan bidadari duduk bersantai. Haaahh, wanita itu mendesah menatap lilin kecil warna merah menancap kaku di atas kue kecil. Angka yang terukir membentuk lengkungan mirip angsa dan bulatan kembar makin bersemayam betapa gemuk umurnya sekarang. Kedua netranya tak lepas dari cengkrama ibu dan anak yang menyempatkan diri mengatur acara di kafe langganan. Shiori merasa istimewa.
            Merajut persahabatan sejak sekolah tidak menyurutkan tekad Nanako dan Shi Nee mengajak buah hati memberikan kejutan pada Shiori. Hanya wanita itu yang masih betah dengan status lajangnya. Dan itulah sebabnya mereka semangat sekali mengenalkan teman pria pada sang sahabat.
            “Nikmati minuman kalian, ya!” seru Nanako sambil menggandeng putrinya. Shi Nee ikut mengulas senyum lalu menggendong balita yang baru berumur empat tahun. Tanpa bicara, wanita berdarah campuran Jepang-Korea itu hanya berkedip.
            “Hei!”panggil Shiori.
            “Kami pulang. Selamat malam!” Nanako dan Shi Nee kompak melenggang keluar.
            “Terimakasih, ya!” Shiori mengiringi kepulangan mereka. “Padahal kita belum mengobrol,” gumamnya lirih.
            Kaki-kaki itu ditekuk mendarat kembali ke kursi. Ia menatap pria di depan tengah mengaduk kopi hingga sedetik kemudian memanjakan kerongkongan. Mau tak mau Shiori mencoba berwajah ramah. Ia tidak ingin mengecewakan teman-temannya karena meninggalkan para pria yang selalu dikenalkan padanya. Ini malam perayaan dan kehadiran sosok itu pun dinilai tak mengganggu.
            Teru, pria itu memulai obrolan. Ia tegas menatap Shiori yang sesekali memilih gelas sebagai pelampiasan mata. Tak bisa dipungkiri, rahang kokoh, hidung mencuat lebih, dan sungging senyum memudahkan Shiori membatin tampan. Pria-pria sebelumnya tak kalah paras, tetapi sosok itu berbeda seakan menahan dirinya beralasan pergi ke toilet lalu menyelinap dari pintu belakang. Shiori betah dengan pendengarannya saat ini. Shiori menjadi tahu jika Teru menyukai warna biru laut seperti bayangan cat di apartemennya. Okonomiyaki makanan penggugah selera bagi Teru, sama persis dengan kudapan pilihan saat Shiori bermalas-malasan di depan televisi. Mereka juga beralasan jika jalan kaki adalah olahraga sederhana yang praktis. Shiori terus menerka-nerka kecocokan itu dengan debar jantung menggelora sambil menyimak ucapan Teru.
            “Kau wanita lajang yang mandiri dan cukup keras kepala,” ucap Teru ringan. Shiori tersenyum karena baru kali ini ada orang menarik kesimpulan karakter pribadinya di pertemuan awal.
            “Sayangnya jika itu kekuranganku maka kau baru menyimpulkan halaman pertama hidupku.”
            Suara tawa pun keluar dari bibir Teru. “Kau wanita menarik. Bahkan kekuranganmu adalah keistimewaan bagiku. Kapan kita bisa bertemu lagi Shiori-san?”
            Shiori menunda gerakan gelas yang akan dibawa menuju mulut. Setengah perjalanan terhambat karena memikirkan waktu yang tepat untuk membuat janji. “Aku rasa Sabtu malam?” Ia tak yakin jika Teru menyanggupi sehingga kalimat itu sedikit mengalun tanya.
            “Tentu, aku menunggumu di sini jam delapan.” Teru menjawab cepat. “Ngomong-ngomong selamat ulang tahun,” lanjut Teru sambil menyodorkan bungkusan kecil. Ia menanti Shiori membuka.
            “Ini ... menakjubkan!” Shiori menunjukkan novel A Note from Ichiyo pemberian Teru.
            “Aku pengagum Rei Kimura. Senang sekali apa yang kusukai dapat kuberikan,” jelas Teru.
            Shiori mengangguk pelan, jemari mengusap judul yang ingin segera dibacanya. “Terimakasih, Teru-san.”
            Jalanan kota Kyoto selalu ramai menjelang malam. Udara menyerang membawa hembusan dingin menyentuh kulit. Shiori berpisah jalan karena Teru berlawanan arah dengannya. Lambaian tangan cukup sebagai pengantar karena menolak tawaran Teru yang ingin menemani ke stasiun terdekat. Digosokkannya telapak tangan untuk mengurangi hawa dingin. Geli, kecerobohannya belum berkurang karena lupa membawa kaos tangan. Shiori tidak bisa membayangkan bagaimana sibuknya Nanako dan Shi Nee mengurus keluarga dan menyiapkan segala keperluan. Sejenak perasaannya hanyut dalam imajinasi seorang wanita bercelemek sedang memegang spatula memamerkan suara berisik di dapur. Berteriak-teriak memanggil para penghuni rumah agar segera bangun menyantap buah karyanya. Ah, Shiori lupa, kepandaiannya memasak sedikit diragukan dan ia pun tak tahu kapan bisa mewujudkan impiannya.
            Impian. Shiori mencerna kata sederhana itu dengan membilas ulang kejadian beberapa tahun silam. Sedikit ada rasa sesak di sana dan membuatnya membuang tatapan menyapu keadaan mencari hiburan. Sayangnya, mata itu menangkap siluet nyata sekelompok remaja yang baru pulang sekolah. Kesamaan seragam semakin lancar membuka kembali lembaran hidupnya di halaman pertengahan.
            Malam itu persis seperti malam perayaan ulangtahunnya setelah dirinya pulang. Langkah tunggalnya ditemani seorang remaja dengan headset terpasang di telinga, Kimura Shou. Sepanjang perjalanan Shiori terus meledek wajah imut Shou yang tertutup lebam akibat berkelahi.
            “Shou-kun, anak imut yang jagoan!” Shiori tersenyum dengan tangan dikibas-kibaskan.
            Dengusan pendek keluar dari hidung Shou. Ia melepas headset yang mengalunkan setengah lagu milik V6. “Aku bukan anak kecil. Kau mengerti Shi-o-ri?” Shou menekankan kata tak mau kalah. Rupanya, volume lagu masih menyisakan ruang untuk menangkap suara Shiori.
            “Eh?” Shiori sedikit melongo, “Kau harus banyak belajar bersopan-santun, Shou-kun! Aku lebih dewasa darimu! Dan apa-apaan tadi seenaknya memanggil nama kecilku!” gerutu Shiori.
            “Aku tidak peduli. Kita sudah kenal lama.”
            “Setidaknya kau memanggilku Shiori-san atau onee-san,” ucap Shiori memberi pilihan.
            Shou tampak tak suka, ia mengeluarkan decihan. “Aku bukan adikmu.”
             Ya, Shou tidak pernah menghargainya dengan panggilan kakak meski bentang usia di antara mereka. Namun Shiori juga tidak merasakan kebencian sedikitpun yang terselip pada untaian lisan ataupun sikap remaja tersebut. Bahkan jawaban sebenarnya sedang menunggu untuk didengar.
            “Seharusnya kau memikirkan sekolah, Shou-kun. Bukan terus berkelahi,” ucap Shiori dalam langkah.
            “Tumben sekali kau peduli. Seperti orang jatuh cinta,” sahut Shou.
            Shiori refleks memiringkan kepala dengan telunjuk ke arahnya sendiri, “Aku? Kenapa tiba-tiba berkata begitu?”
            “Wajahmu bercerita,” jawab Shou enteng. Sesekali ia melirik Shiori.
            Shiori tidak memberi respon. Jika yang dimaksud adalah senyum bahagia sepanjang dirinya berjalan, maka pernyataan Shou tidak sepenuhnya benar. Ia tersenyum gemas karena remaja itu memiliki hobi berkelahi. Justru, dalam benak Shiori terselip cerita khayal jika Shou tengah memperebutkan cewek cantik di sekolah hingga berakhir dengan kepalan tangan. Ah, Shou patut mendayungi kisah cinta alami layaknya remaja normal lainnya.
            “Kau tersenyum lagi. Sepertinya dugaanku benar. Jadi, siapa pria itu?” Pertanyaan Shou menghentikan kaki Shiori.
            “Hmm ... Kau penasaran?” pancing Shiori.
            Shou membenahi pegangan tas lalu memindahnya di bahu lain. Ia mengambil nafas sejenak, “Kau mencintainya?” Kali ini Shiori menangkap umpannya sendiri. Ia sedikit kesal dengan pertanyaan Shou. Itu bukan urusan remaja labil yang keingintahuannya harus mendapat jawaban. Shiori tidak mengatakan apapun dan tidak ingin merusak suasana hatinya.
            “Sampai jumpa.” Hanya sepenggal kalimat Shiori sebagai perpisahan karena memilih meninggalkan Shou.
            “AKU MENYUKAIMU!”
            Klontang!
            Shou  berteriak kencang bersamaan dengan ujung kaki Shiori tak sengaja menendang kaleng bekas minuman. Setengah hati Shiori kesal akibat perbuatan orang iseng menaruhnya di trotoar, selebihnya ia tidak mempercayai pendengarannya. Dari kejauhan, Shou berdiri menatap mencari respon darinya dan mengucapkan kalimat yang sama. Remaja itu benar-benar berhasil membuatnya bingung dan terpatung seakan tak bertenaga. Shiori berterimakasih jika mendapat kejutan tapi jelas tidak mungkin Shou mengetahui hari istimewanya malam ini.
            “Kau terlalu lelah memikirkan ujianmu, ya!” Shiori mencoba mencairkan suasana.
            “Apa itu jawaban kepada orang yang sudah memintamu menjadi pacarnya?”
            “Shou-kun?” Shiori meremas erat tas. Ia pikir mendengar pernyataan Shou hanya luapan sesaat seperti halnya anak kecil menyukai es krim. Tapi dengan diminta sebagai pacar—jelas-jelas degup jantung tak beraturan Shiori perlu diperiksa. Benar-benar malam penuh kejutan.
            Tap! Tap! Tap!
            Derap langkah orang-orang menutup paksa lamunan Shiori. Ia segera beranjak masuk kereta lalu memilih bangku kosong yang dianggapnya nyaman. Batin wanita berambut seleher itu masih bergejolak dan alur benaknya mencipta jalan keputusan. Ia tak bisa terkungkung terus-menerus dalam keraguan. Sosok Shou tak bisa dihapus dari kenangan yang telah pergi tanpa kata pamit. Penolakan dirinya kala itu nyatanya tidak membuat kelegaan karena disadari malah membuncah beberapa tahun belakangan. Usia Shou yang layak dijadikan seorang adik daripada sebutan kekasih, adalah harga mati bagi Shiori hingga tak mau mengubah prinsipnya. Ini bukan soal kekolotan. Batinnya saat itu mengharuskan memberi jawaban berlawanan. Uh, tangan Shiori mengepal gemetar. Remaja itu telah menghilang tanpa diketahui keberadaannya.
***
            Kunci mobil dilempar asal ke arah sofa berukuran panjang. Tampak nyaman karena begitu diduduki, langsung menghasilkan gerakan memantul pada tubuh seseorang. Pria itu melepas jaket dan menyamankan diri setelah pulang dari tempat kerja. Bayangan ocha menguarkan aroma nikmat membuatnya tergerak menuju dapur. Sekilas ia ingin mendapat pelayanan seperti itu dari pasangannya kelak. Ia tersenyum sambil mengusap pelipis. Tentu saja ia tidak ingin keberadaan istrinya sekedar membuatkan ocha. Bicara soal wanita, pria bernama Teru ini masih memasang senyum karena menjatuhkan bayangan pada sosok Shiori. Teru menatap pemandangan kota dari balik kaca jendela apartemen sambil mengaduk. Benaknya sedang mengumpulkan harapan yang selama ini diidamkan.
            Sesuatu menggelegak, Teru disiksa rindu menggebu tentang Shiori. Kedekatan mereka adalah saat-saat terindah apalagi jika wanita itu bersedia melabuhkan biduk bersamanya. Ah, rasanya tak sabar ingin pindah apartemen lalu menghabiskan waktu di istana kecil mereka nanti. Bersenda gurau dalam ayunan di belakang rumah sambil mengawasi anak-anak bermain. Ocha diseruput habis, menyisakan gelas kosong di meja. Hmm, bahkan nikmatnya tak mengurangi rasa tertahan pada wanita yang saat ini berada di Bali. Teru menoleh ke arah kalender menampakkan beberapa angka penuh lingkaran. Menghitung-hitung kapan Shiori pulang untuk didekap nyata dan menggenggam kembali jemari lembut itu. Dan puncaknya, berjalan di altar dengan gaun cantik sebagai calon istri hingga batas usia memisahkan. Teru ingin segera mengungkapkan kata-kata manis lamaran padanya.
            “Cepatlah pulang. Aku menunggumu,” gumam Teru. 




            Sandal bergerak menikmati pasir yang menyelinap di antara celah. Menggelitik telapak kaki putih hingga membuatnya berhenti menatap bentangan luas pantai di depan. Shiori menyukai tempat mengagumkan ini. Airnya hijau bening bergradasi biru menyeruakkan biota laut di dalamnya. Setiap angin menyisir, helai rambut bergerak mesra menikmati lantunan riak ombak. Di sepanjang pasir putih, banyak yang membuat istana pasir tanpa peduli kehilangan kokohnya ketika air pantai bertamu tanpa izin. Nusa Dua memang bukan kawasan wisata satu-satunya di Bali. Namun tempat ini menawarkan komplek berfasilitas yang menggugah kenyamanan dan selera seperti The Bay Bali. Puas, Shiori tak salah menghabiskan sepekan liburannya di sini. Isi perutnya langsung menari begitu membayangkan menu pada salah satu restoran ternama. Tampaknya wanita ini harus cepat-cepat mengantar teriakan lapar setelah lidahnya mengecap rasa hambar di mulut. Ditambah jalan-jalan sorenya hari ini belum dilengkapi makan siang.
            Matahari sedikit malu-malu menutup diri. Cahaya merahnya menemani beberapa wisatawan yang sibuk dalam kegiatan masing-masing. Shiori terus menyusuri garis pantai, tak peduli berapa ratus meter kakinya meninggalkan jejak di pasir. Tak hanya bibir yang mengumbar senyum. Matanya pun mengerling indah menatap air membasahi kaki. Sesekali ada wisatawan lokal yang ramah menyapa meski ia tak sepenuhnya mengerti bahasa mereka.
            “Bukumu ketinggalan.” Suara cukup nyaring bertarung dengan deburan ombak menghentikan Shiori. Ia berbalik menatap tanpa kedip. Sekujur tubuh Shiori membatu, mendapati sosok remaja yang tiga tahun lalu sering duduk di kereta bersama.
            “Shou ...,” ucap Shiori lirih. Tangannya kaku digerakkan saat menerima novel miliknya.
            Sesekali Shiori melirik tanpa bermaksud mencuri pandang. Ia tidak bisa menilai Shou sebagai remaja. Bahunya makin tegap dan rambut dibiarkan memanjang menutupi daun telinga. Sikapnya tak sedatar dulu. Terlihat bagaimana Shou menanggapi sapaan beberapa wisatawan sambil memamerkan barisan gigi. Shiori bahkan tak sadar telah menginjak kawasan restoran sejak mengiyakan ajakan Shou. Sepertinya ia disibukkan oleh beribu pertanyaan. Perasaannya berkecamuk setelah sekian lama tidak menjumpainya.
            “Bagaimana menurutmu, Shiori?” Ada desir setelah nama itu diucapkan.



            “Ini ....” Shiori kelu melanjutkan kalimat. Mereka berada di depan restoran agak senyap namun riuh menyapa. Papan sederhananya bertuliskan Pirates Bay yang belum pernah ia kunjungi. Keunikan dekorasi restoran itu cukup membuat hatinya bergetar. Beberapa kaki melangkah, yang ada adalah alas dan dinding kayu bercampur bambu tergantung di atas pohon. Ya, rumah pohon itu membuat bibir Shiori menggumamkan sesuatu. Tak jauh dari mereka juga terdapat dekorasi kayu berbentuk kapal sebagai tempat bersantap. Imitasi kapal seperti dalam film Pirates of Caribeean. Shiori tak menduga ada restoran unik dengan konsep alam terbuka di tepi pantai.


            “Apa yang terjadi padamu, Shou-kun? Dan mengapa menunjukkan tempat ini?” tanya Shiori. 
             Shou mengerutkan alis, “Bukankah ini tempat impianmu? Kau pernah bercerita ingin memiliki rumah pohon, kan? Ya, setidaknya kau bisa melihatnya di sini.”
            “Kau masih mengingatnya?”
             “Tentu, aku selalu ingat apa yang pernah kau ucapkan. Kau cinta pertamaku bahkan sampai detik ini.” Shiori menahan diri untuk tidak meloloskan air mata. Hati kecilnya meneriakkan bahagia namun sekaligus pilu mengingat ketulusan Shou. Ia tidak ingin menyakiti pria ini.
            “Shiori,” panggil Shou lembut. Ia mendaratkan tangannya ke bahu wanita itu, “Maaf, aku pergi begitu saja. Sebenarnya aku mencemaskanmu karena keegoisanku semata. Aku sangat bahagia bertemu denganmu. Kau tahu, saat ini aku benar-benar menahan siksaan untuk tidak memelukmu.”
            “Shou-kun ....“ Shiori terpaku. Ia mencoba menguatkan hati.
            “Ah, apakah sekarang kau mau menyambut tanganku? Pemandangannya sangat cantik jika dilihat dari atas.”




            Pelan-pelan Shiori menyambut uluran Shou. Ia dibimbing naik tangga kayu menuju hunian cukup luas di dalam bangunan. Terdapat meja tertata dan beberapa bantal yang bersandar rapi berwarna putih dan kuning, sangat cocok untuk tempat bersantai. Shou bercerita jika restoran ini tergolong baru karena dibangun sekitar dua tahun lalu. Wisatawan memilih tempat ini untuk menyantap menu ringan fried calamari dan fresh watermelon juice sementara anak-anak mereka berpetualang layaknya bajak laut. Area outbond selalu riuh oleh suara anak-anak yang asyik bermain. Menjelang sore juga menjadi pilihan wisatawan untuk berdiri di rumah pohon sambil mengamati bola raksasa terbenam. Suatu tempat yang sengaja dirancang untuk liburan keluarga maupun pasangan yang mencari suasana romantis.
            “Ayo kita makan!” seru Shou setelah pelayan berkostum ala kapten Jack Sparrow mengantar pesanan. Ada grilled tuna yang disajikan dengan tambahan minyak zaitun dan bawang putih. Pilihan lain di meja adalah chicken karage. Tak lupa sebagai hidangan penutupnya adalah pisang goreng dalam bentuk crepes dengan toping es krim ataupun cokelat. 



          






                “Menu besar?” Shiori memang lapar tapi juga bingung melihat sajian makanan.
            “Hmm, anggap saja acara sambutan untukmu dan ... perpisahan dariku.” Lagi-lagi ucapan Shou membuat Shiori terdiam. “Dua jam lagi aku berangkat ke Australia. Aku harap sekembalinya ke Jepang, kau pun bisa mewujudkan impian bersama pria pilihanmu.” Shou berhenti bicara menatap wanita di samping yang terlihat sendu.
            “Hei, di mana wanita tegar dan ceria yang dulu kukenal?” Shou menepuk lembut kepala Shiori seraya melanjutkan, “Aku akan kembali setelah semua selesai. Menjadi Kimura Shou dewasa yang menyaksikanmu bersanding dengan pria itu. Ah, maaf, tidak sengaja aku melihat fotonya di dalam novel. Aku ikut bahagia untukmu, Shiori.”
            “Kau marah padaku?” tanya Shiori yang diikuti tawa dari bibir Shou.
            “Kau lucu sekali. Jangan khawatir, aku bisa mengatasi diriku pelan-pelan. Terkadang kita tidak selalu berjalan lurus dan harus menikmati apapun terjalnya.”
            “Shou-kun ... “ Shiori menarik bibir dan membiarkan air mata tumpah menjalar di pipi.
            “Teruslah tersenyum seperti ini.” Shou mengusap jejak pipi Shiori yang basah, “Onee-san.”
            “Shou-kun, terimakasih!” Pria itu tersenyum mendengarnya dan mulai mengiris kecil tuna.
            Bagi Shiori inilah bahagia. Ia bisa melepas beban dengan melihat Shou yang menerima kehadirannya tanpa menyakiti. Bahagia menjadi lebih bermakna saat orang lain ikut merasakan kebahagiaannya. Dari kejauhan, matahari tinggal memperlihatkan sisa-sisa bias. Malam mulai menaungi orang-orang yang membagi kebersamaan dengan banyak cinta. Semoga semangat hidup mereka pun tak terhenti sampai menemukan harapan untuk diwujudkan dalam kebahagiaan sejati.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!